Senin, 02 Februari 2015

Nilai-Nilai Pendidikan Bid’ah Pada Masa Kini

Nilai-Nilai Pendidikan Bid’ah
Pada Masa Kini
A.                     PENDAHULUAN
Al-Qur’an dan Sunnah adalah kunci keselamatan dari terjerumusnya kepada bid’ah dan kesesatan. Maka barang siapa yang berpaling dari Al-Qur’an dan Sunnah pasti akan terbentur oleh jalan-jalan yang sesat dan bid’ah. Bid’ah merupakan suatu kebodohan terhadap hukum-hukum Ad-Dien, semakin panjang zaman dan manusia berjalan menjauhi atsar-atsar risalah Islam, semakin sedikitlah ilmu agama.

B.                     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan Bid’ah?
2.      Apa saja macam-macam Bid’ah ?
3.      Bagaimana contoh Bid’ah masa kini?
4.      Bagaimana Pendapat Ahlusunah Wal Jamaah tentang Pelaku Bid’ah?

C.                     PEMBAHASAN
1.         Pengertian Bid’ah
Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Sedangkan Pengertian Bid'ah menurut istilah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak ada pada zaman Rasulullah SAW.[1]
وَالْبِدْعَةُ : مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَات
“Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.” (Majmu’ Al Fatawa, 18/346, Asy Syamilah)
Al Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah:
عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ
Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukannya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.

2.         Macam-macam Bid’ah
 Bid’ah dalam ad-Dien ada dua macam :
a.              Bid'ah qauliyah 'itiqadiyah : Bid'ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu'tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka.
b.             Bid'ah fil ibadah : Bid'ah dalam ibadah : seperti beribadah kepada Allah dengan apa yang tidak disyari'atkan oleh Allah dan bid'ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu :
1)        Bid'ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari'at Allah Ta'ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak disyari'atkan, shiyam yang tidak disyari'atkan, atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dsb.
2)        Bid'ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.
3)        Bid'ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak disyari'atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama'ah dan suara yang keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah SAW.
4)        Bid'ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari'atkan, tapi tidak dikhususkan oleh syari'at yang ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Sya'ban (tanggal 15 bulan Sya'ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di syari'atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.[2]

3.        Contoh Bid’ah masa kini
Ibadah dan taqqarub kepada Allah SWT diantarannya :
a.    Perayaan bertepatan dengan kelahiran nabi Mohammad SAW pada bulan Rabi’ul Awal.
b.    Tabarruk (mengambil berkah)dari tempat-tempat tertentu, barang-barang peninggalan, dan dari orang-orang baik yang hidup ataupun yang sudah meninggal.[3]
c.    Mengeraskan niat ketika sholat : Niat itu tempatnya adalah hati. Jadi niat adalah aktifitas hati bukan aktifitas lisan.
d.   Dzikir berjama’ah setelah sholat : Sebab yang disyariatkan, bahwa setiap membaca dzikir yang diajarkan itu sendiri-sendiri.
e.    Mengadakan acara duka cita untuk orang-orang yang sudah meninggal.
f.     Mengkhususkan malam Nisfu Sya’ban dengan ibadah tertentu seperti shalat malam dan berpuasa pada siang harinya
Bid’ah dapat menjauhkan diri dari Allah dan akan mendatangkan kemarahan dan siksaanNya serta menjadi penyebab rusak dan melencengnya hati dari kebenaran.[4]
4.        Pendapat Ahlusunah Wal Jamaah tentang pelaku  Bid’ah
       Ahlus sunah Wal Jama’ah Senantiasa membantah dan membentang para para pelaku bid’ah dan selalu mencegah merek untuk melakukannya, perhatanlah beberapa conth di bawah ini:
a.       Dari Ummu ad-Darda R.A, dia berkata, “Abu ad-Darda’ datang menemuiku dalam keadaan jengkel. Lalu aku bertaya, “ada apa denganmu?” dan dia menjawab, “Demi Allah, aku tidak melihat mereka-sedikit pun- berada pada ajaran Muhammad, hanya saja mereka semua melakukan shalat.” (HR. Al-Bukhari).
b.      Dari Umar bin Yahya, dia berkata : “Aku mendengar ayahku menceritakan dari bapaknya, dia berkata : ‘Adalah kami sedang duduk-duduk di pintu (rumah) Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu sebelum shalat Dzuhur –(biasanya) bila dia keluar (dari rumahnya) kami pun pergi bersamanya ke masjid-, tiba-tiba datang Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu dan berkata : “Adakah Abu Abdir Rahman (Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu) telah keluar dari kalian ? Kami menjawab : “Belum”. Lalu diapun duduk bersama kami sampai akhirnya Abdullah bin Mas’ud keluar. Setelah dia keluar, kami berdiri menemuinya dan Abu Musa Al-Asy’ari berkata : “Wahai Abu Abdir Rahman, tadi aku melihat di masjid suatu perkara yang aku mengingkari, dan alhamdulillah, aku tidak melihatnya kecuali kebaikan”. Dia bertanya : “Apa itu?” Abu Musa menjawab :”Bila kau masih hidup niscaya kau akan melihatnya sendiri” Abu Musa lalu berkata : “Aku melihat di masjid beberapa kelompok orang yang duduk dalam bentuk lingkaran sambil menunggu (waktu) shalat. Dalam setiap lingkaran itu ada seseorang laki-laki dan ditangan-tangan mereka ada batu-batu kecil, orang laki-laki itu berkata :’Bacalah takbir 100 kali’, mereka pun bertakbir 100 kali, kemudian berkata lagi :’Bacalah Tahlil 100 kali’, mereka pun bertahlil 100 kali, kemudian mereka berkata lagi :’Bacalah Tasbih 100 kali, mereka pun bertasbih 100 kali. Abdullah bin Mas’ud bertanya : ‘Apa yang katakan kepada mereka !’ Abu Musa menjawab : ‘Aku tidak mengatakan apa pun pada mereka, karena aku menunggu pendapatmu atau menunggu perintahmu!, Abdullah bin Mas’ud menjawab : ‘Tidaklah kamu perintahkan pada mereka untuk menghitung kesalahan-kesalahan mereka, dan kau beri jaminan bagi mereka bahwa tidak ada sedikit pun dari kebaikan mereka yang akan hilang begitu saja ?’. Kemudian dia pergi dan kamipun ikut bersamanya, hingga tiba di salah satu kelompok dari kelompok-kelompok (yang ada di masjid) dan berdiri di hadapan mereka, lalu berkata : ‘Apa yang kalian sedang kerjakan?’ Mereka menjawab : ‘Ya Abu Abdir Rahman, (ini adalah) batu-batu kecil yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil, tasbih dan tahmid’. Abdullah bin Mas’ud berkata : ‘Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian. Aku akan menjamin bahwa tidak ada sedikitpun dari kebaikan-kebaikan kalian yang akan hilang begitu saja. Celaka kalian wahai umat Muhammad, alangkah cepatnya kebinasaan kalian, lihat sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih banyak, baju-baju beliau belum rusak dan bejana-bejana beliau belum pecah. Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh, (apakah) kalian ini berada pada ajaran yang lebih baik dari ajaran Muhammad ataukah kalian sedang membuka pintu kesesatan’. Mereka menjawab : ‘Demi Allah, wahai Abu Abdir Rahman, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan’. Abdullah bin Mas’ud berkata : ‘Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi dia tidak dapat meraihnya, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami bahwa ada sekelompok orang yang membaca Al-Qur’an tapi hanya sampai sebatas kerongkongan mereka saja. Demi Allah, aku tidak tahu, barangkali sebagian besar mereka dari kalian-kalian ini’. Kemudian dia pergi dan Amr bin Maslamah berkata ; ‘Kami lihat sebagian besar mereka memerangi kita pada perang Nahrawan bersama dengan kelompok Khawarij” (Hadits Riwayat Ad-Darimy)
c.       Ada seorang laki-laki yang datang kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah, dia bertanya : “Dari mana saya akan memulai berihram ?” Imam Malik menjawab : “Dari Miqat yang ditentukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau berihram dari sana”. Dia bertanya lagi : “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih jauh dari itu ?” Dijawab : “Aku tidak setuju itu”. Tanyanya lagi : “Apa yang tidak suka dari itu ?” Imam Malik berkata. “Aku takut terjatuh pada sebuah fitnah!”. Dia berkata lagi : “Fitnah apa yang terjadi dalam menambah kebaikan ?” Imam Malik berkata : “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
ÍxósuŠù=sù tûïÏ%©!$# tbqàÿÏ9$sƒä ô`tã ÿ¾Ín͐öDr& br& öNåkz:ŠÅÁè? îpuZ÷FÏù ÷rr& öNåkz:ÅÁムë>#xtã íOŠÏ9r& ÇÏÌÈ  
“Artinya : Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa adzab yang pedih” [An-Nur : 63]
     Dan fitnah apakah yang lebih besar daripada engkau dikhususkan dengan sebuah karunia yang tidak diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Ini hanya sekedar contoh, dan kita lihat para ulama masih tetap menentang pelaku bid’ah di setiap masa, Alhamdulillah.[5]
Analisis Masalah
Perayaan Maulid Nabi, menurut buku Sahlih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan yang berjudul kitab Tauhid 3. Beliau mengatakan merayakan kelahiran nabi adalah Bid’ah, karena perayaan tersebut tidak ada dasarnya pada Al-Qur’an dan As-Sunah. Perayaan maulid nabi baru terjadi setelah abad ke IV Hijriyah. Iman Abu Ja’far Tajuddin berkata bahwa “ saya tidak tau bahwa perayaan ini mempunyai dasar dalam kitab dan sunah dan tidak ada pula keterangan yang dinukilkan bahwa hal tersebut pernah dilakukan oleh seorang ulama yang merupakan panutan dalam beragama, yang sangat kuat dan berpegang teguh pada atsar generasi terdahulu. Perayaan itu tidak lain adalah bid’ah yang diadakan oleh orang yang tidak mempunyai pekerjaan dan merupakan tempat pelampiasan nafsu yang sangat dimanfaatkan oleh orang-orang yang hobi makan.[6]
Pendapat yang kedua, Maulid nabi Diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, di Irak pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193). Tujuan diadakannya adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem dan sekitarnya.
Terdapat beberapa kaum ulama yang berpaham Salafi dan Wahhabi yang tidak merayakannya karena menganggap perayaan Maulid Nabi merupakan sebuah bid'ah, yaitu kegiatan yang bukan merupakan ajaran Nabi Muhammad SAW. Mereka berpendapat bahwa kaum muslim yang merayakannya keliru dalam menafsirkannya sehingga keluar dari esensi kegiatannya. Namun demikian, terdapat pula ulama yang berpendapat bahwa peringatan Maulid Nabi bukanlah hal bid'ah, karena merupakan pengungkapan rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW.[7]
Di dalam al-Shahih disebutkan, Amirul Mukminin Umar bin al-Khathab Radhiyallahu 'Anhu berkata: "Wahai Rasulullah, demi Allah sungguh engkau adalah orang yang paling aku cintai daripada segala sesuatu kecuali diriku." Kemudian NabiShallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda kepadanya, "Tidak, wahai Umar, sehingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri." Lalu Umar berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah sungguh engkau adalah orang yang paling aku cintai daripada segala sesuatu sehingga daripada diriku sendiri." Kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyahut, "Sekarang (baru benar) wahai Umar."
Maka dari sini diketahui, mencintai Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bukan urusan nomor dua atau suatu pilihan, yakni jika seseorang mau mencintainya maka ia boleh mencintainya dan jika tidak mau maka tidak apa-apa. Tetapi mencintai Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah kewajiban atas setiap muslim yang menjadi inti keimanan. Kecintaan kepada beliau ini haruslah lebih kuat daripada kecintaan terhadap apapun, sampai kepada diri sendiri.
Sedangkan bukti kecintaan kepada beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah dengan berittiba’ (mengikuti sunnahnya), taat dan berpegang teguh pada petunjuknya. Mengambil setiap yang beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam berikan dari urusan dien ini dan meningalkan apa yang beliau larang. Sehingga seorang pecinta Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam akan membenarkan setiap yang beliau beritakan, mentaati apa yang beliau perintahkan, meninggalkan apa yang beliau larang, dan tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang disyariatkannya.
Allah Ta'ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran: 31)




D.                     KESIMPULAN
Bid’ah merupakan sesuatu yang dianggap baru dan tidak ada contoh sebelumya atau dalam syariah ialah sebuah perbuatan yang tidak pernah diperintahkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu’alahi wa sallam. Perbuatan yang dimaksud ialah perbuatan baru atau penambahan dalam hubungannya dengan peribadahan.
Bid’ah adalah kebalikan dari sunnah dan bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma umat terdahulu, baik keyakinannya maupun peribadahannya. Dan segala sesatu yang tidak disyariatkan oleh Allah maka yang demikian adalah bid’ah.
Bid’ah dikatakan sesat dikarenakan dalam pengertiannya menjelaskan bahwa bid’ah ialah suatu perbuatan penambahan atau pengurangan dalam peribadahan yang tidak ada contoh, syariat, rukun, dan perintah terlebih dahulu. Dan juga dengan adanya bid’ah umat semakin terpecah belah satu sama lain karena masing-masing mempunyai bid’ah-bid’ah yang mereka yakini kebenarannya.

E.                     PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan, apabila masih ada kekurangan dan kesalahn kami mohon maaf. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini.













[1] Fadlolan Musyaffa’. Potret Islam Universal, (Semarang ; Syauqi Press, 2008) hlm. 54
[2] Sahlih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Kitab Tauhid 3 (Jakarta : Darul Haq, 2011) hlm. 143-144
[3] Ibid. hlm.161
[4] Majalah Al-Mujahid, edisi 22, Syaikh Ibnu Utsaimin
[5] Sahlih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan. Op.cit. hlm.156-159
[6] Ibid.hlm.162
              [7] http://id.wikipedia.org/wiki/Maulid_Nabi_Muhammad#Perbedaan_pendapat                        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar