Nilai-Nilai Pendidikan Bid’ah
Pada Masa Kini
A.
PENDAHULUAN
Al-Qur’an dan Sunnah adalah kunci
keselamatan dari terjerumusnya kepada bid’ah dan kesesatan. Maka barang siapa
yang berpaling dari Al-Qur’an dan Sunnah pasti akan terbentur oleh jalan-jalan
yang sesat dan bid’ah. Bid’ah merupakan suatu kebodohan terhadap hukum-hukum
Ad-Dien, semakin panjang zaman dan manusia berjalan menjauhi atsar-atsar
risalah Islam, semakin sedikitlah ilmu agama.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa yang dimaksud dengan Bid’ah?
2.
Apa saja macam-macam Bid’ah
?
3.
Bagaimana contoh Bid’ah masa kini?
4.
Bagaimana Pendapat Ahlusunah Wal Jamaah tentang Pelaku Bid’ah?
C.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Bid’ah
Bid’ah secara bahasa berarti
membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Sedangkan Pengertian Bid'ah
menurut istilah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak ada pada zaman Rasulullah
SAW.[1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :
وَالْبِدْعَةُ
: مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ
وَالْعِبَادَات
“Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan)
dan ibadah yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’
(kesepakatan) salaf.” (Majmu’ Al Fatawa, 18/346, Asy
Syamilah)
Al Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah:
عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي
الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ
للهِ سُبْحَانَهُ
Suatu istilah untuk
suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil) yang menyerupai
syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukannya adalah untuk
berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.
2.
Macam-macam
Bid’ah
Bid’ah dalam ad-Dien ada dua macam
:
a.
Bid'ah qauliyah 'itiqadiyah : Bid'ah perkataan yang keluar dari keyakinan,
seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu'tazilah, dan Rafidhah serta semua
firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan
mereka.
b.
Bid'ah
fil ibadah : Bid'ah dalam ibadah : seperti beribadah kepada Allah dengan apa
yang tidak disyari'atkan oleh Allah dan bid'ah dalam ibadah ini ada beberapa
bagian yaitu :
1)
Bid'ah
yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah yang
tidak ada dasarnya dalam syari'at Allah Ta'ala, seperti mengerjakan shalat yang
tidak disyari'atkan, shiyam yang tidak disyari'atkan, atau mengadakan hari-hari
besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dsb.
2)
Bid'ah
yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti
menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.
3)
Bid'ah
yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang
sifatnya tidak disyari'atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan
dengan cara berjama'ah dan suara yang keras. Juga seperti membebani diri
(memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah
Rasulullah SAW.
4)
Bid'ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari'atkan,
tapi tidak dikhususkan oleh syari'at yang ada. Seperti menghususkan hari dan
malam nisfu Sya'ban (tanggal 15 bulan Sya'ban) untuk shiyam dan qiyamullail.
Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di syari'atkan, akan tetapi
pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.[2]
3.
Contoh Bid’ah masa kini
Ibadah dan taqqarub kepada Allah SWT
diantarannya :
a.
Perayaan bertepatan dengan kelahiran nabi Mohammad SAW pada bulan Rabi’ul
Awal.
b.
Tabarruk (mengambil berkah)dari tempat-tempat tertentu, barang-barang
peninggalan, dan dari orang-orang baik yang hidup ataupun yang sudah meninggal.[3]
c.
Mengeraskan niat ketika sholat : Niat itu
tempatnya adalah hati. Jadi niat adalah aktifitas hati bukan aktifitas lisan.
d.
Dzikir berjama’ah setelah sholat : Sebab yang
disyariatkan, bahwa setiap
membaca dzikir yang diajarkan itu sendiri-sendiri.
e. Mengadakan acara duka cita untuk orang-orang yang sudah meninggal.
f. Mengkhususkan malam Nisfu Sya’ban dengan ibadah tertentu seperti shalat malam dan
berpuasa pada siang harinya
Bid’ah dapat
menjauhkan diri dari Allah dan akan mendatangkan kemarahan dan siksaanNya serta
menjadi penyebab rusak dan melencengnya hati dari kebenaran.[4]
4.
Pendapat Ahlusunah Wal Jamaah tentang pelaku Bid’ah
Ahlus sunah Wal Jama’ah Senantiasa membantah
dan membentang para para pelaku bid’ah dan selalu mencegah merek untuk
melakukannya, perhatanlah beberapa conth di bawah ini:
a.
Dari Ummu ad-Darda R.A, dia berkata, “Abu ad-Darda’ datang menemuiku
dalam keadaan jengkel. Lalu aku bertaya, “ada apa denganmu?” dan dia menjawab,
“Demi Allah, aku tidak melihat mereka-sedikit pun- berada pada ajaran Muhammad,
hanya saja mereka semua melakukan shalat.” (HR. Al-Bukhari).
b.
Dari
Umar bin Yahya, dia berkata : “Aku mendengar ayahku menceritakan dari bapaknya,
dia berkata : ‘Adalah kami sedang duduk-duduk di pintu (rumah) Abdullah bin
Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu sebelum shalat Dzuhur –(biasanya) bila dia keluar
(dari rumahnya) kami pun pergi bersamanya ke masjid-, tiba-tiba datang Abu Musa
Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu dan berkata : “Adakah Abu Abdir Rahman (Abdullah
bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu) telah keluar dari kalian ? Kami menjawab :
“Belum”. Lalu diapun duduk bersama kami sampai akhirnya Abdullah bin Mas’ud
keluar. Setelah dia keluar, kami berdiri menemuinya dan Abu Musa Al-Asy’ari
berkata : “Wahai Abu Abdir Rahman, tadi aku melihat di masjid suatu perkara
yang aku mengingkari, dan alhamdulillah, aku tidak melihatnya kecuali
kebaikan”. Dia bertanya : “Apa itu?” Abu Musa menjawab :”Bila kau masih hidup
niscaya kau akan melihatnya sendiri” Abu Musa lalu berkata : “Aku melihat di
masjid beberapa kelompok orang yang duduk dalam bentuk lingkaran sambil
menunggu (waktu) shalat. Dalam setiap lingkaran itu ada seseorang laki-laki dan
ditangan-tangan mereka ada batu-batu kecil, orang laki-laki itu berkata
:’Bacalah takbir 100 kali’, mereka pun bertakbir 100 kali, kemudian berkata
lagi :’Bacalah Tahlil 100 kali’, mereka pun bertahlil 100 kali, kemudian mereka
berkata lagi :’Bacalah Tasbih 100 kali, mereka pun bertasbih 100 kali. Abdullah bin Mas’ud
bertanya : ‘Apa yang katakan kepada mereka !’ Abu Musa menjawab : ‘Aku tidak
mengatakan apa pun pada mereka, karena aku menunggu pendapatmu atau menunggu
perintahmu!, Abdullah bin Mas’ud menjawab : ‘Tidaklah kamu perintahkan pada
mereka untuk menghitung kesalahan-kesalahan mereka, dan kau beri jaminan bagi
mereka bahwa tidak ada sedikit pun dari kebaikan mereka yang akan hilang begitu
saja ?’. Kemudian dia pergi dan kamipun
ikut bersamanya, hingga tiba di salah satu kelompok dari kelompok-kelompok
(yang ada di masjid) dan berdiri di hadapan mereka, lalu berkata : ‘Apa yang
kalian sedang kerjakan?’ Mereka menjawab : ‘Ya Abu Abdir Rahman, (ini adalah)
batu-batu kecil yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil, tasbih dan tahmid’.
Abdullah bin Mas’ud
berkata : ‘Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian. Aku akan menjamin bahwa tidak
ada sedikitpun dari kebaikan-kebaikan kalian yang akan hilang begitu saja. Celaka kalian wahai umat Muhammad, alangkah
cepatnya kebinasaan kalian, lihat sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam masih banyak, baju-baju beliau belum rusak dan bejana-bejana beliau
belum pecah. Demi Allah yang jiwaku berada di
tanganNya, sungguh, (apakah) kalian ini berada pada ajaran yang lebih baik dari
ajaran Muhammad ataukah kalian sedang membuka pintu kesesatan’. Mereka menjawab
: ‘Demi Allah, wahai Abu Abdir Rahman, kami tidak menginginkan kecuali
kebaikan’. Abdullah bin Mas’ud berkata : ‘Betapa banyak orang yang menginginkan
kebaikan tapi dia tidak dapat meraihnya, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami bahwa ada sekelompok orang yang membaca
Al-Qur’an tapi hanya sampai sebatas kerongkongan mereka saja. Demi Allah, aku
tidak tahu, barangkali sebagian besar mereka dari kalian-kalian ini’. Kemudian
dia pergi dan Amr bin Maslamah berkata ; ‘Kami lihat sebagian besar mereka
memerangi kita pada perang Nahrawan bersama dengan kelompok Khawarij” (Hadits Riwayat Ad-Darimy)
c. Ada seorang laki-laki yang datang
kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah, dia bertanya : “Dari mana saya akan
memulai berihram ?” Imam Malik menjawab : “Dari Miqat yang ditentukan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau berihram dari sana”. Dia
bertanya lagi : “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih jauh dari
itu ?” Dijawab : “Aku tidak setuju itu”. Tanyanya lagi : “Apa yang tidak suka
dari itu ?” Imam Malik berkata. “Aku takut terjatuh pada sebuah fitnah!”. Dia
berkata lagi : “Fitnah apa yang terjadi dalam menambah kebaikan ?” Imam Malik berkata
: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Íxósuù=sù tûïÏ%©!$# tbqàÿÏ9$sä ô`tã ÿ¾ÍnÍöDr& br& öNåkz:ÅÁè? îpuZ÷FÏù ÷rr& öNåkz:ÅÁã ë>#xtã íOÏ9r& ÇÏÌÈ
“Artinya : Maka
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah
(cobaan) atau ditimpa adzab yang pedih” [An-Nur : 63]
Dan fitnah apakah yang lebih besar daripada engkau
dikhususkan dengan sebuah karunia yang tidak diberikan kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Ini hanya
sekedar contoh, dan kita lihat para ulama masih tetap menentang pelaku bid’ah
di setiap masa, Alhamdulillah.[5]
Analisis Masalah
Perayaan Maulid Nabi, menurut buku Sahlih
bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan yang berjudul kitab Tauhid 3. Beliau
mengatakan merayakan kelahiran nabi adalah Bid’ah, karena perayaan tersebut
tidak ada dasarnya pada Al-Qur’an dan As-Sunah. Perayaan maulid nabi baru
terjadi setelah abad ke IV Hijriyah. Iman Abu Ja’far Tajuddin berkata bahwa “
saya tidak tau bahwa perayaan ini mempunyai dasar dalam kitab dan sunah dan
tidak ada pula keterangan yang dinukilkan bahwa hal tersebut pernah dilakukan
oleh seorang ulama yang merupakan panutan dalam beragama, yang sangat kuat dan
berpegang teguh pada atsar generasi terdahulu. Perayaan itu tidak lain
adalah bid’ah yang diadakan oleh orang yang tidak mempunyai pekerjaan dan
merupakan tempat pelampiasan nafsu yang sangat dimanfaatkan oleh orang-orang
yang hobi makan.[6]
Pendapat yang kedua, Maulid nabi Diperkirakan pertama kali diperkenalkan
oleh Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, di Irak pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193). Tujuan diadakannya adalah untuk membangkitkan
kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum
muslimin saat itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya
memperebutkan kota Yerusalem dan sekitarnya.
Terdapat beberapa kaum ulama yang berpaham Salafi dan Wahhabi yang tidak merayakannya karena
menganggap perayaan Maulid Nabi merupakan sebuah bid'ah,
yaitu kegiatan yang bukan merupakan ajaran Nabi Muhammad SAW. Mereka
berpendapat bahwa kaum muslim yang merayakannya keliru dalam menafsirkannya
sehingga keluar dari esensi kegiatannya. Namun demikian, terdapat pula ulama
yang berpendapat bahwa peringatan Maulid Nabi bukanlah hal bid'ah, karena
merupakan pengungkapan rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW.[7]
Di
dalam al-Shahih disebutkan, Amirul Mukminin Umar bin al-Khathab Radhiyallahu
'Anhu berkata: "Wahai
Rasulullah, demi Allah sungguh engkau adalah orang yang paling aku cintai
daripada segala sesuatu kecuali diriku." Kemudian NabiShallallahu
'Alaihi Wasallam bersabda
kepadanya, "Tidak, wahai Umar, sehingga aku lebih engkau cintai daripada
dirimu sendiri." Lalu Umar berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah
sungguh engkau adalah orang yang paling aku cintai daripada segala sesuatu
sehingga daripada diriku sendiri." Kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyahut, "Sekarang (baru benar)
wahai Umar."
Maka
dari sini diketahui, mencintai Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam bukan
urusan nomor dua atau suatu pilihan, yakni jika seseorang mau mencintainya maka
ia boleh mencintainya dan jika tidak mau maka tidak apa-apa. Tetapi mencintai
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah kewajiban atas setiap muslim yang menjadi inti keimanan.
Kecintaan kepada beliau ini haruslah lebih kuat daripada kecintaan terhadap
apapun, sampai kepada diri sendiri.
Sedangkan
bukti kecintaan kepada beliau Shallallahu
'Alaihi Wasallam adalah
dengan berittiba’ (mengikuti
sunnahnya), taat dan berpegang teguh pada petunjuknya. Mengambil setiap yang
beliau Shallallahu 'Alaihi
Wasallam berikan dari urusan
dien ini dan meningalkan apa yang beliau larang. Sehingga seorang pecinta Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam akan membenarkan setiap yang beliau
beritakan, mentaati apa yang beliau perintahkan, meninggalkan apa yang beliau
larang, dan tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang
disyariatkannya.
Allah Ta'ala
berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ
فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (QS. Ali Imran: 31)
D.
KESIMPULAN
Bid’ah merupakan sesuatu yang dianggap
baru dan tidak ada contoh sebelumya atau dalam syariah ialah sebuah perbuatan
yang tidak pernah diperintahkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu’alahi wa sallam.
Perbuatan yang dimaksud ialah perbuatan baru atau penambahan dalam hubungannya
dengan peribadahan.
Bid’ah adalah kebalikan dari sunnah dan
bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma umat terdahulu, baik
keyakinannya maupun peribadahannya. Dan segala sesatu yang tidak disyariatkan
oleh Allah maka yang demikian adalah bid’ah.
Bid’ah dikatakan sesat dikarenakan dalam pengertiannya menjelaskan bahwa bid’ah ialah suatu perbuatan penambahan atau pengurangan dalam peribadahan yang tidak ada contoh, syariat, rukun, dan perintah terlebih dahulu. Dan juga dengan adanya bid’ah umat semakin terpecah belah satu sama lain karena masing-masing mempunyai bid’ah-bid’ah yang mereka yakini kebenarannya.
Bid’ah dikatakan sesat dikarenakan dalam pengertiannya menjelaskan bahwa bid’ah ialah suatu perbuatan penambahan atau pengurangan dalam peribadahan yang tidak ada contoh, syariat, rukun, dan perintah terlebih dahulu. Dan juga dengan adanya bid’ah umat semakin terpecah belah satu sama lain karena masing-masing mempunyai bid’ah-bid’ah yang mereka yakini kebenarannya.
E.
PENUTUP
Demikian
makalah yang dapat kami sampaikan, apabila masih ada kekurangan dan kesalahn
kami mohon maaf. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak
demi kesempurnaan makalah ini.