I.
PENDAHULUAN
Sebelum
Islam masuk ke tanah Jawa, mayoritas masyasarakat jawa menganut kepercayaan
animisme dan dinamisme. Selain menganut kepercayaan tersebut masyarakat Jawa
juga dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya Hindu dan Budha dari India. Seiring
dengan waktu berjalan tidak lama kemuadian Islam masuk ke Jawa melewati Gujarat
dan Persi dan ada yang berpendapat langsung dibawa oleh orang Arab.
Kedatangan
Islam di Jawa dibuktikan dengan ditemukannya batu nisan kubur bernama Fatimah
binti Maimun serta makam Maulana Malik Ibrahim. Saluran-saluran Islamisasi yang
berkembang ada enam yaitu: perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan,
kesenian, dan politik.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana Islam dan Pengaruhnya di Jawa pada Masa Kerajaan Hindu dan
Budha ?
B. Bagaimana Pengaruhnya Islam di Jawa Pada Masa Kerajaan Islam?
C. Bagaimana Islam di Jawa dan Pengaruhnya Pada Masa Indonesia Modern?
III.
PEMBAHASAN
A. Islam dan Pengaruhnya di Jawa pada Masa Kerajaan Hindu dan Budha
Agama Islam masuk di jawa di tandai melalui pesisir utara Pulau Jawa ditandai dengan ditemukannya makam
Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada tahun 475 Hijriah atau 1082
Masehi di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dari namanya,
diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di Persia.
Di samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Maulana Malik Ibrahim dari
Kasyan (satu tempat di Persia) yang meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M.
Agak ke pedalaman, di Mojokerto juga ditemukan ratusan kubur Islam kuno. Makam
tertua berangka tahun 1374 M. Diperkirakan makam-makam ini ialah makam keluarga
istana Majapahit.
Islam masuk pada masa kerajaan hindu dan budha, Pengaruh
Hindu-Budha dalam masyarakat Jawa bersifat ekspansif, sedangkan budaya Jawa
yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme setelah
melalui proses akulturasi tidak saja berpengaruh pada sistem budaya, tetapi
juga berpengaruh terhadap sistem agama. Sejak awal, budaya Jawa yang dihasilkan
pada masa Hindu-Budha bersifat terbuka untuk menerima agama apapun dengan
pemahaman bahwa semua agama itu baik, maka sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa
bersifat sinkretis (bersifat momot atau serba memuat).
Ciri lain dari budaya Jawa pada saat itu adalah sangat bersifat
teokratis. Pengkultusan terhadap raja-raja sebagai titisan dewa adalah salah
satu buktinya. Dalam hal ini Onghokham menyatakan “Dalam
kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk legitimasi”.
Pada jaman Hindu-Budha diperkenalkan konsep dewa-raja atau raja titising dewa.
Ini berarti bahwa rakyat harus tunduk pada kedudukan raja untuk mencapai
keselamatan dunia akhirat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan
kerajaan/kekuasaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta dan keraton. Raja dan
kehidupan keraton adalah puncak peradaban pada masa itu.
Di pulau Jawa terdapat tiga buah kerajaan masa Hindu Budha,
kerajaan-kerajaan itu adalah Taruma, Ho-Ling, dan Kanjuruhan. Di dalam
perekonomian dan industri salah satu aktivitas masyarakat adalah bertani dan
berdagang dalam proses integrasi bangsa. Dari aspek lain karya seni dan satra
juga telah berkembang pesat antara lain seni musik, seni tari, wayang, lawak,
dan tari topeng. Semua itu sebagian besar terdokumentasikan pada
pahatan-pahatan relief dan candi-candi.[1]
1. Kerajaan Taruma Negara
Kerajaan Taruma Negara berkuasa di
wilayah barat pulau Jawa
pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Taruma negara merupakan salah satu kerajaan tertua di
Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan sejarah dan
peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu
Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.
Kerajaan Taruma Negara tidak ada penjelasan atau catatan yang pasti mengenai siapakah yang pertama kalinya mendirikan
kerajaan Tarumanegara. Raja yang pernah berkuasa dan sangat terkenal dalam
catatan sejarah adalah Purnawarman.
Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga (Kali Bekasi) sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang
prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui dengan tujuh buah prasasti batu yang ditemukan. Lima di Bogor, satu di Jakarta dan satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan
dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M dan beliau memerintah sampai tahun 382 M. Makam
Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi)
Raja-raja yang pernah memimpin kerajaan
Taruma Negara adalah :
2. Kerajaan Kalingga atau Ho-Ling
Sebuah kerajaan bercorak Hindu yang muncul di Jawa
Tengah sekitar abad ke-6 masehi. Letak
pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan berada di suatu tempat antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Sumber sejarah kerajaan ini masih belum jelas dan kabur,
kebanyakan diperoleh dari sumber catatan China, tradisi kisah setempat, dan
naskah Carita Parahyangan yang disusun berabad-abad kemudian pada abad ke-16 menyinggung
secara singkat mengenai Ratu Shima dan kaitannya dengan Kerajaan Galuh.
Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari
sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal sangat mematuhi aturan kerajaan, jujur dan tegas,
dan salah satu yang pernah di lakukannya adalah barang siapa yang mencuri, akan
dipotong tangannya.
3. Kerajaan Kanjuruhan
Kerajaan yang bercorak Hindu yang Berdiri
pada abad ke
6 Masehi di antara Sungai Brantas dan Sungai Metro, di lereng
sebelah timur Gunung Kawi. Di
dataran yang sekarang bernama Dinoyo, Merjosari, Tlogomas, dan Ketawanggede
Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang.
Bukti tertulis mengenai kerajaan ini
adalah Prasasti
Dinoyo yang ditulis pada tahun 682 saka atau tahun 760 M.
Disebutkan seorang Raja yang bernama Dewa Singha, memerintah
keratonnya yang amat besar yang disucikan oleh api Sang Siwa. Raja
Dewa Singha mempunyai putra bernama Liswa,
yang setelah memerintah menggantikan ayahnya menjadi raja bergelar Gajayana.
Pengaruh masuknya Agama Islam di
Pulau Jawa di lakukan oleh Walisongo. Walisongo menyebarkan agama Islam dengan cara mereka
sendiri dan adapula ada ajaran yang di gabung antara ajaran agama hindu budha
dengan agama Islam. Inilah yang membuat agama Islam cepat berkembang di pulau
jawa.
Pada Masa Walisongo adalah masa
berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan
kebudayaan Islam. Walisongo adalah
simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa peranan Walisongo
sangat besar dalam mendirikan kerajaan Islam di Jawa.
Di Pulau Jawa, penyebaran agama
Islam dilakukan oleh Walisongo (9 wali). Wali ialah orang yang sudah mencapai
tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah. Para wali ini dekat
dengan kalangan istana. Merekalah orang yang memberikan pengesahan atas sah
tidaknya seseorang naik tahta. Mereka juga adalah penasihat sultan.
Karena dekat dengan kalangan istana, mereka kemudian diberi gelar sunan atau susuhunan (yang dijunjung tinggi). Kesembilan wali tersebut adalah sebagai berikut:
Karena dekat dengan kalangan istana, mereka kemudian diberi gelar sunan atau susuhunan (yang dijunjung tinggi). Kesembilan wali tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Sunan Gresik (Maulana
Malik Ibrahim). Inilah wali yang pertama datang ke Jawa pada abad ke-13 dan
menyiarkan Islam di sekitar Gresik. Dimakamkan di Gresik, Jawa Timur.
2.
Sunan Ampel (Raden
Rahmat). Menyiarkan Islam di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Beliau merupakan
perancang pembangunan Masjid Demak.
3.
Sunan Drajad
(Syarifudin). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan agama di sekitar Surabaya.
Seorang sunan yang sangat berjiwa sosial.
4.
Sunan Bonang (Makdum
Ibrahim). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan Islam di Tuban, Lasem, dan Rembang.
Sunan yang sangat bijaksana.
5.
Sunan Kalijaga (Raden
Mas Said/Jaka Said). Murid Sunan Bonang. Menyiarkan Islam di Jawa Tengah.
Seorang pemimpin, pujangga, dan filosof. Menyiarkan agama dengan cara
menyesuaikan dengan lingkungan setempat.
6.
Sunan Giri (Raden
Paku). Menyiarkan Islam di Jawa dan luar Jawa, yaitu Madura, Bawean, Nusa
Tenggara, dan Maluku. Menyiarkan agama dengan metode bermain.
7.
Sunan Kudus (Jafar
Sodiq). Menyiarkan Islam di Kudus, Jawa Tengah. Seorang ahli seni bangunan.
Hasilnya ialah Masjid dan Menara Kudus.
8.
Sunan Muria (Raden Umar
Said). Menyiarkan Islam di lereng Gunung Muria, terletak antara Jepara dan
Kudus, Jawa Tengah. Sangat dekat dengan rakyat jelata.
9.
Sunan Gunung Jati
(Syarif Hidayatullah). Menyiarkan Islam di Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon.
Seorang pemimpin berjiwa besar.
Salah satu cara penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh para Wali
tersebut ialah dengan cara mendakwah. Penyebaran Islam melalui dakwah ini
berjalan dengan cara para ulama mendatangi masyarakat (sebagai objek dakwah),
dengan menggunakan pendekatan sosial budaya. Pola ini memakai bentuk
akulturasi, yaitu menggunakan jenis budaya setempat yang dialiri dengan ajaran
Islam di dalamnya. Di samping itu, para ulama ini juga mendirikan
pesantren-pesantren sebagai sarana pendidikan Islam.
B. pengaruhnya Islam di Jawa Pada Masa Kerajaan Islam
Penyebaran agama islam yang dibawa oleh kaum sufi memang
tidak mudah karena masih dipengaruhi Kerajaan Hindhu-Budha, namun perjuangan
atau dakwah islamiyah tidaklah berhenti begitu saja, para juru dakwah tidaklah
putus asa dan mengambil strategi baru dalam berdakwah. Sasaran dakwah dialihkan
ke daerah pesisir yang jauh dari pantauan kerajaan. Bermula dari inilah Islam
mulai melangkah setahap demi setahap, berangkat dari golongan bawah di daerah
pesisir yang menerima dengan baik ajaran-ajaran Islam. Di daerah pesisir ini
Islam tumbuh subur dan menjadi kekuatan besar dengan berdirinya
pesantren-pesantren yang akhirnya mampu menandingi wibawa kerajaan.[2]
Islam masuk pada masa kerajaan Hindu Budha, seiring dengan berjalannya waktu, Islam mulai berkembang. Hal
ini merupakan jerih payah dari Walisongo. Setelah
para Wali menyebarkan ajaran Islam di pulau Jawa, kepercayaan animisme dan
dinamisme serta budaya Hindu-Budha sedikit demi sedikit berubah atau termasuki
oleh nilai-nilai Islam. Hal ini membuat masyarakat kagum atas nilai-nilai Islam
yang begitu besar manfa’atnya dalam kehidupan sehari-hari sehingga membuat
mereka langsung bisa menerima ajaran Islam. Dari sini derajat orang-orang
miskin mulai terangkat yang pada awalnya tertindas oleh para penguasa kerajaan.
Islam sangat berkembang luas sampai ke pelosok desa setelah para Wali berhasil
mendidik murid-muridnya. Salah satu generasi yang meneruskan perjuangan para
Wali sampai Islam tersebar ke pelosok desa adalah Jaka Tingkir. Islam di Jawa
yang paling menonjol setelah perjuangan para Wali songo adalah perpaduan adat
Jawa dengan nilai-nilai Islam, salah satu diantaranya adalah tradisi Wayang
Kulit.
Dengan semakin berkembangnya Islam di Pulau
Jawa, maka mulai muncullah kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam, diantaranya :
1. Kesultanan Demak
Kesultanan demak merupakan kerajaan islam pertama di Pulau jawa. Demak adalah kesultanan atau kerajaan islam pertama di pulau jawa. Kerajaan
ini didirikan oleh Raden Patah (1478-1518) pada tahun 1478, Raden patah adalah
bangsawan kerajaan Majapahit yang menjabat sebagai adipati kadipaten Bintara,
Demak. Pamor kesultanan ini didapatkan dari Walisanga, yang terdiri atas
sembila orang ulama besar, pendakwah islam paling awal di pulau jawa.
Hal itu didasarkan pada
saat jatuhnya Majapahit yang diperintah oleh Prabu Kertabumi. Para wali
kemudian sepakat untuk menobatkan Raden Fatah menjadi Sultan Demak Bintoro yang
pertama. Atas bantuan
daerah-daerah lain yang sudah lebih dahulu menganut islam seperti Jepara, Tuban
dan Gresik, Raden patah sebagai adipati Islam di Demak memutuskan ikatan dengan
Majapahit saat itu, Majapahit memang tengah berada dalam kondisi yang sangat
lemah. Dengan proklamasi itu, Radeh Patah menyatakan kemandirian Demak dan
mengambil gelar Sultan Syah Alam Akbar.
Letak kerjaan Demak
berada di tepi pantai utara Pulau Jawa. Kerajaan ini sering dikunjungi
pedagang-pedagang Islam dan pedagang asing untuk membeli beras,
madu,lilin dan lain-lain. Sampai abad ke 15, Demak di bawah kekuasaan
Majapahit. Akan tetapi setelah Majapahit mundur, Demak berkembang pesat sebagai
tempat penyebaran agama Islam dan tempat perdagangan yang ramai. Sebagai
penguasa pertama adalah Raden Fatah. Selain menjadi penguasa (bupati), Raden
Fatah juga sebagai penyiar agama Islam. Raden Fatah memisahkan diri dari
Majapahit sekitar tahun 1500. Dengan bantuan para wali, Raden Fatah mendirikan
kerajaan Islam yang pertama di Pulau Jawa yaitu kerajaan Demak.
Kerajaan Demak
menjalankan sistem pemerintahan teokrasi, yaitu pemerintahan yang berdasarkan
pada agama Islam. Kerajaan Demak memperluas kekuasaannya dengan menaklukan
kerajaan-kerajaan pesisir Pulau Jawa, seperti Lasem, Tuban, Sedayu, Gresik,
cirebon dan Banten.
Cepatnya kota demak
berkembang menjadi pusat perniagaan dan lalu lintas serta pusat kegiatan
pengislaman tidak lepas dari andil masjid Agung Demak. Dari sinilah para wali
dan raja dari Kesultanan Demak mengadakan perluasan kekuasaan yang dibarengi
oleh kegiatan dakwah islam ke seluruh Jawa.
Masjid agung Demak
sebagai lambang kekuasaan bercorak Islam adalah sisi tak terpisahkan dari
kesultanan Demak Bintara. Kegiatan walisanga yang berpusat di Masjid itu. Di
sanalah tempat kesembilan wali bertukar pikiran tentang soal-soal keagamaan.
2. kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kerajaan Islam yang ternama di
Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Ia kemudian diyakini
sebagai pendiri kesultanan Cirebon dan Banten, serta menyebar Islam di
majalengka, Kuningan, kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Syarif
Hidayatullah wafat pada tahun 1568, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan
tertinggi kerajaan Islam cirebon. Pada mulanya, calon kuat penggantinya adalah
pangeran Dipati Carbon, Putra Pengeran Pasarean, cucu Syarif Hidayatullah.
Namun, Pangeran Adipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565 M.
Kosongnya kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat istana
yang memegang kendali pemerintahan selama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung
Jati melaksanakan Dakwah. Pejabat tersebut adalah Fatahillah atau Fadillah
Khan. Fatahillah kemudian naik tahta, secara resmi menjadi Sultan
Cirebon sejak tahun 1568. Setelah wafat, Fatahillah digantikan berturut-turut
oleh Pangeran Dipati Ratu, Pangeran Dipati Anom Carbon, dan Panembahan
Girilaya.
Panembahan Girilaya memiliki tiga putra, yaitu pangeran
murtawijaya, pangeran Kartawijaya, dan pangeran wangsakerta. Pada penobatan
ketiganya di tahun 1677 M, kesultanan cirebon terpecah menjadi tiga.
Ketiga bagian itu dipimpin oleh tiga anak panembahan Girilaya,
yakni
a. Pangeran Martawijaya atau sultan Kraton Kasepuhan, dengan
gelar Sepuh Abi Makarimi Muhammad Samsudin (1677 – 1703 M)
b. Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar Sultan
Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677 – 1723 M
c. Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, dengan gelar
pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677 – 1713
M).
3. Kesultanan Banten
Kesultanan Banten berawal ketika
Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524/1525,
Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dari kerajaan
Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak. Menurut
sumber Portugis, sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan
Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Sunda Kalapa dan
Cimanuk.
Anak dari Sunan Gunung Jati
(Hasanudin) menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan
dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua
menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara.
Terjadi perebutan kekuasaan setelah
Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kerajaan
Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana
Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kerajaan
Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena dibantu oleh para
ulama.
Kerajaan Banten mencapai puncak
kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal
dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi
pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat. Wilayah
kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan Mataram
dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Piagam Bojong
menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh
kesultanan Banten.
4. Kesultanan Pajang
Pada abad ke-14 Pajang sudah disebut dalam kitab
Negarakertagama karena dikunjungi oleh Hayam Wuruk dalam perjalanannya
memeriksa bagian Barat. Antara abad ke-11 dan 14 di Jawa Tengah Selatan tidak
ada Kerajaan tetapi Majapahit masih berkuasa sampai kesana. Sementara itu, di
Demak mulai muncul Kerajaan kecil yang didirikan oleh tokoh-tokoh beragama
Islam. Namun, sampai awal abad ke-16 kewibawaan raja Majapahit masih diakui.
Baru pada akhir abad ke 17 dan awal abad ke-18 para
penulis kronik di Kartasura menulis seluk beluk asal usul raja-raja Mataram dimana
Pajang dilihat sebagai pendahulunya. Pajang sendiri sebagai kelanjutan dari
Pengging pada tahun 1618 yang pernah dihancurkan ibukota dan sawah ladangnya
oleh pasukan-pasukan dari Mataram karena memberontak. Di bekas kompleks keraton
Raja Pajang yang dikubur di Butuh banyak ditemukan sisa-sisa keramik asal
negeri Cina.
Cerita mengenai sejarah Pajang malah termuat dalam kitab Babad Banten yang
menyebutkan Ki Andayaningrat berputera 2 orang yaitu, Kebo Kenanga dan Kebo
Kanigara. Meskipun Majapahit ambruk pada tahun 1625, Pengging dibawah Kebo
Kenanga berdaulat terus hingga pertengahan abad ke-16. untuk menundukkan
pengging Raja Demak memanfaatkan jasa Wanapala dan Sunan Kudus, dengan cara
pendahuluan berupa adu kekuatan ngelmu. Dua tahun kemudian, Kebo Kenanga
berhasil dibunuh sedangkan anak laki-lakinya yaitu Jaka Tingkir kelak mengabdi
ke Istana Demak untuk akhirnya mendirikan Kerajaan Pajang dengan sebutan Adi
Wijaya.
5. kesultanan Mataram
Kerajaan Mataram mulai berdiri tahun 1582, terletak di daerah Kota Gede
sebelah tenggara kota Yogyakarta, kerajaan ini dipimpin suatu dinasti
keturunan Ki ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan yang mengklaim masih keturunan
penguasa Majapahit.
Asal usul kerajaan ini adalah berasal dari sebuah kadipaten dibawah Kesultananajang
(Sultan hadiwijaya), berpusat di Bumi Mentaok yang diberikan kepada Ki Ageng
Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya mengalahkah Arya Penangsang, selanjutnya
Ki Ageng Pemanahan mulai membangun Mataram sebagai tempat pemukiman baru dan
persawahan, akan tetapi kehadiranya didaerah ini dan usaha pembangunanya
mendapatkan tanggapan penguasa setempat, misalnya Ki Ageng Giring, Ki Ageng
Tembayat dan Ki Ageng Mangir. Akan tetapi ada sebagian pejabat yang memberi
sambutan baik akan hal itu seperti Ki Ageng Karanglo, walaupun demikian Ki
Ageng Pemanahan tetap melakukan pembangunan didaerah tersebut yang berpusat di
Plered dan juga mempersiapkan strategi untuk menundukkan siapa saja yang
mementang kehadiranya.
Tahun 1575 Ki Ageng Pemanahan meninggal dunia dan digantikan oleh putranya
bernama Sutawijaya atau Pangerang Ngabehi Loring Pasar, selain beliau bertekad
melanjutkan mimpi ayahandanya, dia pun bercita-cita untuk membebaskan diri dari
kekuasaan Pajang, sehingga hubungan antara Mataram dan Pajang pun mulai
memburuk hingga berujung peperangan. Dalam peperangan ini Kerajaan Pajang
mengalami kekalahan dan Sultan Hadiwijaya meninggal.
Kemudian Sutawijaya mengangkat dirinya menjadi raja Mataram dengan gelar
panembahan senopati. Ia mulai membangun kerajaanya dan memindahkan pusat
pemerintahan di Kotagede.
Pada tahun 1590 kerajaan Mataram menaklukan Madiun, Jipang, Kediri
kemudian melanjutkan dengan menaklukan Pasuruan dan Tuban.
Sebagai raja islam yang baru beliau mempunyai tekad untuk menjadikan Mataram menjadi pusat budaya dan agam Islam, sebagai penerus kesultanan Demak.
Sebagai raja islam yang baru beliau mempunyai tekad untuk menjadikan Mataram menjadi pusat budaya dan agam Islam, sebagai penerus kesultanan Demak.
C. Islam di Jawa dan Pengaruhnya Pada Masa Indonesia Modern
Pengaruh islam dijawa terhadap masa
Indonesia modern adalah terbentuknya kelompok-kelompok atau aliran organisasi
beragama seperti :
1. Al – Jami’ah Al-Khairiyah
Orang Arab yang tinggal di Jakarta
menempati perkampungan tertentu yang dikenal dengan sebutan Kampung Arab.
Emigran Arab ini dan keluarganya hanya boleh tinggal di kampung Arab ini.
Mereka ada yang melakukan perdagangan dan ada yang melakukan dakwah Islamiyah.
Usaha ini tidaklah disenangi oleh pemerintah Belanda.
Didalam kehidupan orang di pemukiman
orang Arab, banyak timbul masalah seperti peristiwa kematian, anak yatim,
janda, keluarga miskin, dan masalah pendidikan anak mereka.[3]
Latar belakang di atas telah
menyadarkan beberapa orang keturunan Arab untuk membentuk suatu badan yang
mampu menampung semua permasalahan. Kemudian pada tanggal 17 Juli 1905 di
Jakarta, didirikan organisasi Al-Jami’ah al-Khairiyah, atau yang lebih dikenal
dengan nama Jami’at Khair.
Pendiri dan Ide Pembaharuannya
a.
Para
pendiri perkumpulan Jami’at Khair ini antara lain:
1)
Sayyid
Ali bin Ahmad bin Syahab, sebagai ketua
2)
Sayyid
Muhammad bin Abdullah bin Syahab, sebagai wakil ketua.
3)
Sayyid
Muhammad al-Fachir bin Abdurrahman al- Masyhur, sebagai sekertaris.
4)
Sayyid
Idrus bin Ahmad bin Syahab, sebagai bendahara.
5)
Said
bin Ahmad Basandied, sebagai anggota.
Orang Indonesia yang pernah menjadi
anggota perkumpulan Jami’at Khair ini antara lain:
1)
Raden
Oemar Said Tjokroaminoto
2)
R.
Jayanegara, Hoofd Jaksa Betawi
3)
R.M.
Wiriadimaja, Asisten Wedana Rangkasbitung
4)
R.
Hasan Djajadiningrat
5) K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.[4]
2.
Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah sebuaho
rganisasi Islam yang besar di Indonesia.Tujuan utama Muhammadiyah adalah
mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah.
Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan
kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.[5]
Gerakan Muhammadiyah berciri
semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan
terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi
dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia
dalam segala aspeknya. Akan tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk
melakukan perbuatan yang ekstrem. Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh K.H.
Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 (8
Dzulhijjah 1330 H).[6]
3.
NahdlatulUlama
Keterbelakangan
baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat
penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum
terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan
dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan
"KebangkitanNasional”.
Merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentukorganisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada1916. Kemudian pada tahun 1918
didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri"
(kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan
keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar,
(pergerakan kaum saudagar).Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai,
akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul
Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpino leh
K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Untuk
menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan
kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad
Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian ediejawantahkan dalam khittah
NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalamb erpikir dan bertindak
dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Tujuan :
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah
kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.[7]
IV.
KESIMPULAN
Masuknya Hindu-
Budha bersama dengan munculnya sistem kerajaan, yang diperkenalkan oleh kaum
Brahmana India yang melahirkan kepercayaan dan keagamaan Hindu
Kejawen dan Budha Kejawen.
Padamasa Indonesia Modern terbentuk gerakan-gerakan pembaruan berupa Al-Jami’ah al-Khairiyah,
Muhammadiyah, dan NahdatulUlama.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, sebagai manusia biasa kita
menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Khalim, Samidi. 2008. Islam dan Spiritualitas Jawa,
Semarang: RaSAIL media group.
Khoiriyah. 2008. Islam
dan logika modern, Jogjakarta : Ar
– Ruzz Media.
Adkharika, Sari. Islam di Jawa. http://adkharikhasari.blogspot.com/islam-di-jawa.com. Diakases pada 15 Oktober 2013.
Prima, Arifia. Masuknya Islam di Jawa dan
Pengaruhnya. http://meniaprima.blogspot.com/favicon.com. Diakses pada 16 November 2013.
[1]
Arfia, Prima. Masuknya Islam
di Jawa dan Pengaruhnya. http://meniaprima.blogspot.com/favicon.com. Diakses pada 16 November 2013.
[5] Adkharika, Sari. Islam di Jawa. http://adkharikhasari.blogspot.com/islam-di-jawa.com. diakases pada 15 Oktober 2013.
[7] Adkharika, Sari. Islam di Jawa. http://adkharikhasari.blogspot.com/islam-di-jawa.com. diakases pada 15 Oktober 2013.