Sabtu, 04 Juli 2015

MAKALAH ISLAM DIJAWA DAN PENGARUHNYA





I.                   PENDAHULUAN
Sebelum Islam masuk ke tanah Jawa, mayoritas masyasarakat jawa menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Selain menganut kepercayaan tersebut masyarakat Jawa juga dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya Hindu dan Budha dari India. Seiring dengan waktu berjalan tidak lama kemuadian Islam masuk ke Jawa melewati Gujarat dan Persi dan ada yang berpendapat langsung dibawa oleh orang Arab.
Kedatangan Islam di Jawa dibuktikan dengan ditemukannya batu nisan kubur bernama Fatimah binti Maimun serta makam Maulana Malik Ibrahim. Saluran-saluran Islamisasi yang berkembang ada enam yaitu: perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik.
II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana Islam dan Pengaruhnya di Jawa pada Masa Kerajaan Hindu dan Budha ?
B.     Bagaimana Pengaruhnya Islam di Jawa Pada Masa Kerajaan Islam?
C.     Bagaimana Islam di Jawa dan Pengaruhnya Pada Masa Indonesia Modern?
III.             PEMBAHASAN
A.    Islam dan Pengaruhnya di Jawa pada Masa Kerajaan Hindu dan Budha
Agama Islam masuk di jawa di tandai melalui pesisir utara Pulau Jawa ditandai dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada tahun 475 Hijriah atau 1082 Masehi di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dari namanya, diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di Persia. Di samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Maulana Malik Ibrahim dari Kasyan (satu tempat di Persia) yang meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M. Agak ke pedalaman, di Mojokerto juga ditemukan ratusan kubur Islam kuno. Makam tertua berangka tahun 1374 M. Diperkirakan makam-makam ini ialah makam keluarga istana Majapahit.
Islam masuk pada masa kerajaan hindu dan budha, Pengaruh Hindu-Budha dalam masyarakat Jawa bersifat ekspansif, sedangkan budaya Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme setelah melalui proses akulturasi tidak saja berpengaruh pada sistem budaya, tetapi juga berpengaruh terhadap sistem agama. Sejak awal, budaya Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat terbuka untuk menerima agama apapun dengan pemahaman bahwa semua agama itu baik, maka sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa bersifat sinkretis (bersifat momot atau serba memuat).
Ciri lain dari budaya Jawa pada saat itu adalah sangat bersifat teokratis. Pengkultusan terhadap raja-raja sebagai titisan dewa adalah salah satu buktinya. Dalam hal ini Onghokham menyatakanDalam kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk legitimasi. Pada jaman Hindu-Budha diperkenalkan konsep dewa-raja atau raja titising dewa. Ini berarti bahwa rakyat harus tunduk pada kedudukan raja untuk mencapai keselamatan dunia akhirat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan/kekuasaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta dan keraton. Raja dan kehidupan keraton adalah puncak peradaban pada masa itu.
Di pulau Jawa terdapat tiga buah kerajaan masa Hindu Budha, kerajaan-kerajaan itu adalah Taruma, Ho-Ling, dan Kanjuruhan. Di dalam perekonomian dan industri salah satu aktivitas masyarakat adalah bertani dan berdagang dalam proses integrasi bangsa. Dari aspek lain karya seni dan satra juga telah berkembang pesat antara lain seni musik, seni tari, wayang, lawak, dan tari topeng. Semua itu sebagian besar terdokumentasikan pada pahatan-pahatan relief dan candi-candi.[1]
1.      Kerajaan Taruma Negara
Kerajaan Taruma Negara berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Taruma negara  merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.
Kerajaan Taruma Negara tidak ada penjelasan atau catatan yang pasti mengenai siapakah yang pertama kalinya mendirikan kerajaan Tarumanegara. Raja yang pernah berkuasa dan sangat terkenal dalam catatan sejarah adalah Purnawarman. Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga (Kali Bekasi) sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui dengan tujuh buah prasasti batu yang ditemukan. Lima di Bogor, satu di Jakarta dan satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M dan beliau memerintah sampai tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi)
Raja-raja yang pernah memimpin kerajaan Taruma Negara adalah :
a.       Rajadirajaguru Jaya Singawarman tahun 358 - 382 M
b.      Dhamayawarman tahun 382 - 395 M
c.       Sri Purnawarman tahun 395 - 434 M
d.      Wisnuwarman tahun 434 - 455 M
e.       Indrawarman tahun 455 - 515 M
f.       Candrawarman tahun 515 - 535 M
g.      Suryawarman tahun 535 - 561 M
h.      Kertawarman tahun 561 - 628 M
i.        Sudhawarman tahun 628 - 639 M
j.        Hariwangsawarman tahun 639 - 640 M
k.      Nagajayawarman tahun 640 - 666 M
l.        Sang Linggawarman tahun 666 - 669 M
m.    Tarusbawa tahun 669 - 670 M
2.      Kerajaan Kalingga atau Ho-Ling
Sebuah kerajaan bercorak Hindu yang muncul di Jawa Tengah sekitar abad ke-6 masehi. Letak pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan berada di suatu tempat antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Sumber sejarah kerajaan ini masih belum jelas dan kabur, kebanyakan diperoleh dari sumber catatan China, tradisi kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang disusun berabad-abad kemudian pada abad ke-16 menyinggung secara singkat mengenai Ratu Shima dan kaitannya dengan Kerajaan Galuh. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal sangat mematuhi aturan kerajaan, jujur dan tegas, dan salah satu yang pernah di lakukannya adalah barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.
3.      Kerajaan Kanjuruhan
Kerajaan yang bercorak Hindu yang Berdiri pada abad ke 6 Masehi di antara Sungai Brantas dan Sungai Metro, di lereng sebelah timur Gunung Kawi. Di dataran yang sekarang bernama Dinoyo, Merjosari, Tlogomas, dan Ketawanggede Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang.
Bukti tertulis mengenai kerajaan ini adalah Prasasti Dinoyo yang ditulis pada tahun 682 saka atau tahun 760 M. Disebutkan seorang Raja yang bernama Dewa Singha, memerintah keratonnya yang amat besar yang disucikan oleh api Sang Siwa. Raja Dewa Singha mempunyai putra bernama Liswa, yang setelah memerintah menggantikan ayahnya menjadi raja bergelar Gajayana.
Pengaruh masuknya Agama Islam di Pulau Jawa di lakukan oleh Walisongo. Walisongo menyebarkan agama Islam dengan cara mereka sendiri dan adapula ada ajaran yang di gabung antara ajaran agama hindu budha dengan agama Islam. Inilah yang membuat agama Islam cepat berkembang di pulau jawa.
Pada Masa Walisongo adalah masa berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Walisongo adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa peranan Walisongo sangat besar dalam mendirikan kerajaan Islam di Jawa.
Di Pulau Jawa, penyebaran agama Islam dilakukan oleh Walisongo (9 wali). Wali ialah orang yang sudah mencapai tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah. Para wali ini dekat dengan kalangan istana. Merekalah orang yang memberikan pengesahan atas sah tidaknya seseorang naik tahta. Mereka juga adalah penasihat sultan.
Karena dekat dengan kalangan istana, mereka kemudian diberi gelar sunan atau susuhunan (yang dijunjung tinggi). Kesembilan wali tersebut adalah sebagai berikut:
1.        Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim). Inilah wali yang pertama datang ke Jawa pada abad ke-13 dan menyiarkan Islam di sekitar Gresik. Dimakamkan di Gresik, Jawa Timur.
2.        Sunan Ampel (Raden Rahmat). Menyiarkan Islam di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Beliau merupakan perancang pembangunan Masjid Demak.
3.        Sunan Drajad (Syarifudin). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan agama di sekitar Surabaya. Seorang sunan yang sangat berjiwa sosial.
4.        Sunan Bonang (Makdum Ibrahim). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan Islam di Tuban, Lasem, dan Rembang. Sunan yang sangat bijaksana.
5.        Sunan Kalijaga (Raden Mas Said/Jaka Said). Murid Sunan Bonang. Menyiarkan Islam di Jawa Tengah. Seorang pemimpin, pujangga, dan filosof. Menyiarkan agama dengan cara menyesuaikan dengan lingkungan setempat.
6.        Sunan Giri (Raden Paku). Menyiarkan Islam di Jawa dan luar Jawa, yaitu Madura, Bawean, Nusa Tenggara, dan Maluku. Menyiarkan agama dengan metode bermain.
7.        Sunan Kudus (Jafar Sodiq). Menyiarkan Islam di Kudus, Jawa Tengah. Seorang ahli seni bangunan. Hasilnya ialah Masjid dan Menara Kudus.
8.        Sunan Muria (Raden Umar Said). Menyiarkan Islam di lereng Gunung Muria, terletak antara Jepara dan Kudus, Jawa Tengah. Sangat dekat dengan rakyat jelata.
9.        Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah). Menyiarkan Islam di Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Seorang pemimpin berjiwa besar.
Salah satu cara penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh para Wali tersebut ialah dengan cara mendakwah. Penyebaran Islam melalui dakwah ini berjalan dengan cara para ulama mendatangi masyarakat (sebagai objek dakwah), dengan menggunakan pendekatan sosial budaya. Pola ini memakai bentuk akulturasi, yaitu menggunakan jenis budaya setempat yang dialiri dengan ajaran Islam di dalamnya. Di samping itu, para ulama ini juga mendirikan pesantren-pesantren sebagai sarana pendidikan Islam.

B.     pengaruhnya Islam di Jawa Pada Masa Kerajaan Islam
Penyebaran agama islam yang dibawa oleh kaum sufi memang tidak mudah karena masih dipengaruhi Kerajaan Hindhu-Budha, namun perjuangan atau dakwah islamiyah tidaklah berhenti begitu saja, para juru dakwah tidaklah putus asa dan mengambil strategi baru dalam berdakwah. Sasaran dakwah dialihkan ke daerah pesisir yang jauh dari pantauan kerajaan. Bermula dari inilah Islam mulai melangkah setahap demi setahap, berangkat dari golongan bawah di daerah pesisir yang menerima dengan baik ajaran-ajaran Islam. Di daerah pesisir ini Islam tumbuh subur dan menjadi kekuatan besar dengan berdirinya pesantren-pesantren yang akhirnya mampu menandingi wibawa kerajaan.[2]
Islam masuk pada masa kerajaan Hindu Budha, seiring dengan berjalannya waktu, Islam mulai berkembang. Hal ini merupakan jerih payah dari Walisongo. Setelah para Wali menyebarkan ajaran Islam di pulau Jawa, kepercayaan animisme dan dinamisme serta budaya Hindu-Budha sedikit demi sedikit berubah atau termasuki oleh nilai-nilai Islam. Hal ini membuat masyarakat kagum atas nilai-nilai Islam yang begitu besar manfa’atnya dalam kehidupan sehari-hari sehingga membuat mereka langsung bisa menerima ajaran Islam. Dari sini derajat orang-orang miskin mulai terangkat yang pada awalnya tertindas oleh para penguasa kerajaan. Islam sangat berkembang luas sampai ke pelosok desa setelah para Wali berhasil mendidik murid-muridnya. Salah satu generasi yang meneruskan perjuangan para Wali sampai Islam tersebar ke pelosok desa adalah Jaka Tingkir. Islam di Jawa yang paling menonjol setelah perjuangan para Wali songo adalah perpaduan adat Jawa dengan nilai-nilai Islam, salah satu diantaranya adalah tradisi Wayang Kulit.
Dengan semakin berkembangnya Islam di Pulau Jawa, maka mulai muncullah kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam, diantaranya :
1.      Kesultanan Demak
Kesultanan demak merupakan kerajaan islam pertama di Pulau jawa. Demak adalah kesultanan atau kerajaan islam pertama di pulau jawa. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Patah (1478-1518) pada tahun 1478, Raden patah adalah bangsawan kerajaan Majapahit yang menjabat sebagai adipati kadipaten Bintara, Demak. Pamor kesultanan ini didapatkan dari Walisanga, yang terdiri atas sembila orang ulama besar, pendakwah islam paling awal di pulau jawa.
Hal itu didasarkan pada saat jatuhnya Majapahit yang diperintah oleh Prabu Kertabumi. Para wali kemudian sepakat untuk menobatkan Raden Fatah menjadi Sultan Demak Bintoro yang pertama. Atas bantuan daerah-daerah lain yang sudah lebih dahulu menganut islam seperti Jepara, Tuban dan Gresik, Raden patah sebagai adipati Islam di Demak memutuskan ikatan dengan Majapahit saat itu, Majapahit memang tengah berada dalam kondisi yang sangat lemah. Dengan proklamasi itu, Radeh Patah menyatakan kemandirian Demak dan mengambil gelar Sultan Syah Alam Akbar.
Letak kerjaan Demak berada di tepi pantai utara Pulau Jawa. Kerajaan ini sering dikunjungi pedagang-pedagang  Islam dan pedagang asing untuk membeli beras, madu,lilin dan lain-lain. Sampai abad ke 15, Demak di bawah kekuasaan Majapahit. Akan tetapi setelah Majapahit mundur, Demak berkembang pesat sebagai tempat penyebaran agama Islam dan tempat perdagangan yang ramai. Sebagai penguasa pertama adalah Raden Fatah. Selain menjadi penguasa (bupati), Raden Fatah juga sebagai penyiar agama Islam. Raden Fatah memisahkan diri dari Majapahit sekitar tahun 1500. Dengan bantuan para wali, Raden Fatah mendirikan kerajaan Islam yang pertama di Pulau Jawa yaitu kerajaan Demak.
Kerajaan Demak menjalankan sistem pemerintahan teokrasi, yaitu pemerintahan yang berdasarkan pada agama Islam. Kerajaan Demak memperluas kekuasaannya dengan menaklukan kerajaan-kerajaan pesisir Pulau Jawa, seperti Lasem, Tuban, Sedayu, Gresik, cirebon dan Banten.
Cepatnya kota demak berkembang menjadi pusat perniagaan dan lalu lintas serta pusat kegiatan pengislaman tidak lepas dari andil masjid Agung Demak. Dari sinilah para wali dan raja dari Kesultanan Demak mengadakan perluasan kekuasaan yang dibarengi oleh kegiatan dakwah islam ke seluruh Jawa.
Masjid agung Demak sebagai lambang kekuasaan bercorak Islam adalah sisi tak terpisahkan dari kesultanan Demak Bintara. Kegiatan walisanga yang berpusat di Masjid itu. Di sanalah tempat kesembilan wali bertukar pikiran tentang soal-soal keagamaan.

2.      kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kerajaan Islam yang ternama di Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Ia kemudian diyakini sebagai pendiri kesultanan Cirebon dan Banten, serta menyebar Islam di majalengka, Kuningan, kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam cirebon. Pada mulanya, calon kuat penggantinya adalah pangeran Dipati Carbon, Putra Pengeran Pasarean, cucu Syarif Hidayatullah. Namun, Pangeran Adipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565 M.
             Kosongnya kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat istana yang memegang kendali pemerintahan selama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati melaksanakan Dakwah. Pejabat tersebut adalah Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik tahta, secara resmi menjadi Sultan Cirebon sejak tahun 1568. Setelah wafat, Fatahillah digantikan berturut-turut oleh Pangeran Dipati Ratu, Pangeran Dipati Anom Carbon, dan Panembahan Girilaya.
             Panembahan Girilaya memiliki tiga putra, yaitu pangeran murtawijaya, pangeran Kartawijaya, dan pangeran wangsakerta. Pada penobatan ketiganya di tahun 1677 M, kesultanan cirebon terpecah menjadi tiga.
Ketiga bagian itu dipimpin oleh tiga anak panembahan Girilaya, yakni
a. Pangeran Martawijaya atau sultan Kraton Kasepuhan, dengan gelar Sepuh Abi Makarimi Muhammad Samsudin (1677 – 1703 M)
b. Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677 – 1723 M
c. Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, dengan gelar pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677 – 1713 M).
3.      Kesultanan Banten
Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dari kerajaan Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak. Menurut sumber Portugis, sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Sunda Kalapa dan Cimanuk.
Anak dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin) menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara.
Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kerajaan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena dibantu oleh para ulama.
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten.


4.      Kesultanan Pajang
Pada abad ke-14 Pajang sudah disebut dalam kitab Negarakertagama karena dikunjungi oleh Hayam Wuruk dalam perjalanannya memeriksa bagian Barat. Antara abad ke-11 dan 14 di Jawa Tengah Selatan tidak ada Kerajaan tetapi Majapahit masih berkuasa sampai kesana. Sementara itu, di Demak mulai muncul Kerajaan kecil yang didirikan oleh tokoh-tokoh beragama Islam. Namun, sampai awal abad ke-16 kewibawaan raja Majapahit masih diakui.
Baru pada akhir abad ke 17 dan awal abad ke-18 para penulis kronik di Kartasura menulis seluk beluk asal usul raja-raja Mataram dimana Pajang dilihat sebagai pendahulunya. Pajang sendiri sebagai kelanjutan dari Pengging pada tahun 1618 yang pernah dihancurkan ibukota dan sawah ladangnya oleh pasukan-pasukan dari Mataram karena memberontak. Di bekas kompleks keraton Raja Pajang yang dikubur di Butuh banyak ditemukan sisa-sisa keramik asal negeri Cina.
Cerita mengenai sejarah Pajang malah termuat dalam kitab Babad Banten yang menyebutkan Ki Andayaningrat berputera 2 orang yaitu, Kebo Kenanga dan Kebo Kanigara. Meskipun Majapahit ambruk pada tahun 1625, Pengging dibawah Kebo Kenanga berdaulat terus hingga pertengahan abad ke-16. untuk menundukkan pengging Raja Demak memanfaatkan jasa Wanapala dan Sunan Kudus, dengan cara pendahuluan berupa adu kekuatan ngelmu. Dua tahun kemudian, Kebo Kenanga berhasil dibunuh sedangkan anak laki-lakinya yaitu Jaka Tingkir kelak mengabdi ke Istana Demak untuk akhirnya mendirikan Kerajaan Pajang dengan sebutan Adi Wijaya.
5.      kesultanan Mataram
Kerajaan Mataram mulai berdiri tahun 1582, terletak di daerah Kota Gede sebelah tenggara kota Yogyakarta,  kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan yang mengklaim masih keturunan penguasa Majapahit.
Asal usul kerajaan ini adalah berasal dari sebuah kadipaten dibawah Kesultananajang (Sultan hadiwijaya), berpusat di Bumi Mentaok yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya mengalahkah Arya Penangsang, selanjutnya Ki Ageng Pemanahan mulai membangun Mataram sebagai tempat pemukiman baru dan persawahan, akan tetapi kehadiranya didaerah ini dan usaha pembangunanya mendapatkan tanggapan penguasa setempat, misalnya Ki Ageng Giring, Ki Ageng Tembayat dan Ki Ageng Mangir. Akan tetapi ada sebagian pejabat yang memberi sambutan baik akan hal itu seperti Ki Ageng Karanglo, walaupun demikian Ki Ageng Pemanahan tetap melakukan pembangunan didaerah tersebut yang berpusat di Plered dan juga mempersiapkan strategi untuk menundukkan siapa saja yang mementang kehadiranya.
Tahun 1575 Ki Ageng Pemanahan meninggal dunia dan digantikan oleh putranya bernama Sutawijaya atau Pangerang Ngabehi Loring Pasar, selain beliau bertekad melanjutkan mimpi ayahandanya, dia pun bercita-cita untuk membebaskan diri dari kekuasaan Pajang, sehingga hubungan antara Mataram dan Pajang pun mulai memburuk hingga berujung peperangan. Dalam peperangan ini Kerajaan Pajang mengalami kekalahan dan Sultan Hadiwijaya meninggal.
Kemudian Sutawijaya mengangkat dirinya menjadi raja Mataram dengan gelar panembahan senopati. Ia mulai membangun kerajaanya dan memindahkan pusat pemerintahan di Kotagede.
Pada tahun 1590 kerajaan Mataram menaklukan Madiun, Jipang, Kediri  kemudian melanjutkan dengan menaklukan Pasuruan dan Tuban.
Sebagai raja islam yang baru beliau mempunyai tekad untuk menjadikan Mataram menjadi pusat budaya dan agam Islam, sebagai penerus kesultanan
Demak.



C.     Islam di Jawa dan Pengaruhnya Pada Masa Indonesia Modern
Pengaruh islam dijawa terhadap masa Indonesia modern adalah terbentuknya kelompok-kelompok atau aliran organisasi beragama seperti :
1.      Al – Jami’ah Al-Khairiyah
Orang Arab yang tinggal di Jakarta menempati perkampungan tertentu yang dikenal dengan sebutan Kampung Arab. Emigran Arab ini dan keluarganya hanya boleh tinggal di kampung Arab ini. Mereka ada yang melakukan perdagangan dan ada yang melakukan dakwah Islamiyah. Usaha ini tidaklah disenangi oleh pemerintah Belanda.
Didalam kehidupan orang di pemukiman orang Arab, banyak timbul masalah seperti peristiwa kematian, anak yatim, janda, keluarga miskin, dan masalah pendidikan anak mereka.[3]
Latar belakang di atas telah menyadarkan beberapa orang keturunan Arab untuk membentuk suatu badan yang mampu menampung semua permasalahan. Kemudian pada tanggal 17 Juli 1905 di Jakarta, didirikan organisasi Al-Jami’ah al-Khairiyah, atau yang lebih dikenal dengan nama Jami’at Khair.
Pendiri dan Ide Pembaharuannya
a.       Para pendiri perkumpulan Jami’at Khair ini antara lain:
1)      Sayyid Ali bin Ahmad bin Syahab, sebagai ketua
2)      Sayyid Muhammad bin Abdullah bin Syahab, sebagai wakil ketua.
3)      Sayyid Muhammad al-Fachir bin Abdurrahman al- Masyhur, sebagai sekertaris.
4)      Sayyid Idrus bin Ahmad bin Syahab, sebagai bendahara.
5)      Said bin Ahmad Basandied, sebagai anggota.
Orang Indonesia yang pernah menjadi anggota perkumpulan Jami’at Khair ini antara lain:
1)      Raden Oemar Said Tjokroaminoto
2)      R. Jayanegara, Hoofd Jaksa Betawi
3)      R.M. Wiriadimaja, Asisten Wedana Rangkasbitung
4)      R. Hasan Djajadiningrat
5)      K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.[4]

2.      Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah sebuaho rganisasi Islam yang besar di Indonesia.Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.[5]
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Akan tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang ekstrem. Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H).[6]
3.      NahdlatulUlama
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "KebangkitanNasional”.
Merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentukorganisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar).Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpino leh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian ediejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalamb erpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Tujuan : Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.[7]




IV.             KESIMPULAN
Masuknya Hindu- Budha bersama dengan munculnya sistem kerajaan, yang diperkenalkan oleh kaum Brahmana India yang melahirkan kepercayaan dan keagamaan Hindu Kejawen dan Budha Kejawen.
Padamasa Indonesia Modern terbentuk gerakan-gerakan pembaruan berupa Al-Jami’ah al-Khairiyah, Muhammadiyah, dan NahdatulUlama.

V.                PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, sebagai manusia biasa kita menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.







                                                                   






DAFTAR PUSTAKA

Khalim, Samidi. 2008.  Islam dan Spiritualitas Jawa, Semarang: RaSAIL media group.
Khoiriyah. 2008. Islam dan logika modern, Jogjakarta : Ar – Ruzz Media.
Adkharika, Sari. Islam di Jawa. http://adkharikhasari.blogspot.com/islam-di-jawa.com. Diakases pada 15 Oktober 2013.
Prima, Arifia. Masuknya Islam di Jawa dan Pengaruhnya. http://meniaprima.blogspot.com/favicon.com. Diakses pada 16 November 2013.




[1] Arfia, Prima. Masuknya Islam di Jawa dan Pengaruhnya. http://meniaprima.blogspot.com/favicon.com. Diakses pada 16 November 2013.
[2] Samidi Khalim, Islam dan Spiritualitas Jawa, Semarang: RaSAIL media group, 2008, hlm. 48.
[3] Khoiriyah, Islam dan logika modern, Jogjakarta : Ar – Ruzz Media, 2008, hlm. 105-106.
[4] Khoiriyah. Hlm 107.
[5] Adkharika, Sari. Islam di Jawa. http://adkharikhasari.blogspot.com/islam-di-jawa.com. diakases pada 15 Oktober 2013.
[6] Khoiriyah. Hlm. 118.
[7] Adkharika, Sari. Islam di Jawa. http://adkharikhasari.blogspot.com/islam-di-jawa.com. diakases pada 15 Oktober 2013.