Sabtu, 04 Juli 2015

MAKALAH INTERELASI REPRESENTASI NILAI ISLAM TERHADAP SASTRA DAN KEBUDAYAAN JAWA DI INDONESIA



INTERELASI REPRESENTASI NILAI  ISLAM TERHADAP SASTRA DAN KEBUDAYAAN JAWA DI INDONESIA

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Islam Budaya Jawa
Dosen Pengampu: M Rikza Chamami, M.SI



Disusun oleh:
Nurul Inayah (103711023)
Zeaul Rizka Agustin
Salahudin Surya Amin

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013

INTERELASI REPRESENTASI NILAI  ISLAM TERHADAP SASTRA DAN KEBUDAYAAN JAWA DI INDONESIA
I.                   PENDAHULUAN
Seni adalah sebuah karya sastra yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Ini dikarenakan seni merupakan ekspresi manusia terhadap sesuatu. Ilmu budaya dasar dinamakan basic humanities, yang berasal dari bahasa inggris yaitu The Humanities, dan bahasa latin, Humanus yang berarti manusia, berbudaya, dan halus. Maka dari itu apabila kita mempelajari the humanities maka kita akan menjadi manusia yang berbudaya, dan halus. Sedangkan sastra berasal dari kata castra berarti tulisan. Dari makna asalnya dulu, sastra meliputi segala bentuk dan macam tulisan yang ditulis oleh manusia. Seperti catatan ilmu pengetahuan, kitab-kitab suci, surat-surat, dan sebagainya. Sastra lebih mudah untuk berkomunikasi, karena pada hakekatnya karya sastra merupakan penjabaran abstraksi. Masalah sastra dan seni sangat erat hubungannya dengan ilmu budaya, karena materi-materi yang diulas oleh ilmu budaya berkaitan dengan sastra menjadikanya sebuah seni.
Masyarakat nusasntara kaya akan tradisi lama yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita. Sampai sekarang masih dapat dinikmati khazanah budaya yang tidak ternilai harganya itu. Salah satu peninggalan nenek moyang tersebut  dalam bentuk karya sastra, baik karya sastra yang hidup dikalangan masyarakat ataupun karya sastra yang berkembang di istana.
Sistem pemerintahan monarki masyarakat budaya jaman dulu didominasi oleh budaya hindu, setelah berkembang muncul kerajaan – kerajaan islam Nusantara yang menyebar di pulau jawa yang mendominasi, bahkan dengan munculnya kerajaan islam tidak mengubah budaya indonesia yang telah terbangun berabad-abad yang lalu. Seperti pewayangan, dalam budaya jawa, selain sastra yang menjadikan seni jawa menjadi cultural studies, namun pewayangan juga menjadikan cultural studies budaya sehingga menjadikannya sebuah seni. Dan didalamnya tersirat mengenai ajaran islam.
II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana hakikat sastra dan kebudayaan ?
B.     Bagaimana keterkaitan islam dengan karya sastra jawa?
C.     Bagaimana seni pewayangan di indonesia?
D.    Bagaimana nilai islam terhadap budaya jawa (pewayangan)?
III.             PEMBAHASAN
A.    Hakikat sastra dan kebudayaan sebagai studi kultural
Karya sastra disebut sebagai seni berbahasa dengan posisi yang sama dengan bentuk kesenian lainnya. Sastra tidak hanya sebagai alat untuk menghibur, tetapi juga sebagai bentuk pengekspresian pengarangnya dengan menggunakan seni kebahasaan yang indah.
Sastra berasal dari bahasa Sansekerta dengan dua suku kata sas dan tra. Sas yang berarti mngarahkan, mengajar, memberi petunjuk, sedangkan tra yang berati alat, atau sarana.[1]
Sebagai disiplin yang berbeda, sastra dan kebudayaan memiliki objek yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat, manusia sebagai fakta sosial, manusia sebagai makhluk kultural. Dikaitkan dengan fungsinya, sebagai aktivitas literer dan aktivitas kultural, keduanya juga berfungsi untuk mengantarkan manusia untuk mencapai jenjang kehidupan yang lebih tinggi. Perbedaannya, sesuai dengan hakiktnya masing- masing, karya sastra melakukannya secara tak langsung, melalui bahasa metaforis konotatif, aspek – aspek kebudayaan pada umumnya melakukannya secara langsung, melalui bahasa baku, bahasa logis denotatif.
Pada umumnya kebudayaan menganalisis manusia secara langsung dalam masyarakat yang bersangkutan, di tempat-tempat kejadian. Apabila ternyata bahwa objek studi kultural merupakan teks, maka teks itupun diangap sebagai representasi suatu kejadian tertentu. Dalam hubungan inilah teks dikatakan sebagai gejala kedua. Sebaliknya, sastra selalu mentransformasikannya terlebih dahulu kedalam teks, dari bahasa formal kedalam bahasa sastra, dari kejdaian kedalam plot, objek formal karya sastra dengan demikian adalah teks itu sendiri, sedangkan objek formal studi kultural, meskipun dalam uatu penelitian sudah diadopsi ke dalam data, tetap kejadian-kejadian yang ada dilapangan, sebagai studi konteks. Oleh karena itulah, sastra disebut ‘dunia dalam kata’, bukan dunia manusia.
Aspek kebudayaan yang paling banyak memanfaatkan kata-kata, dalam hubungan ini sebagai bahasa, adalah sastra. dengan kalimat lain, medium utama karya sastra adalah bahasa. Dikaitkan dengan peranan sastra terhadap kebudayaan, maka unsur yang perlu disinggung adalah peranan pengarang terhadap karya sastra yang bersangkutan. Pengarang jelas adalah anggota masyarakat. Pengarang mengarang atas dasar pengalamannya dalam masyarakat.
Meskipun begitu pengarang tidak pernah mengarang semata-mata atas dasar pegalaman pribadi, namun juga dikondisikan secara sosial, sehingga sastra dikondisikan secara sosial.
Perbedaan hakikat sastra dan kebudayaan seperti yang telah dijelaskan diatas bukanlah kendala untuk menggabungkan kedua gejala menjadi sebuah ilmu yang baru. Yang terpenting dalam hubungan ini adalah objek yang diteliti sama, yaitu manusia dan masyarakat itu sendiri, diteliti melalui paradigma, metodologi, teori dan metode yang berbeda. Proses inilah yang menimbulkan perbedaan, sehingga memberikan pemahaman yang berbeda. Dalam ilmu sastra misalnya, tokoh- tokh dan kejadian dipahami secara imajinatif, tokoh-tokoh sebagai hasil rekaan pengarang. Sebaliknya, melalui pemahaman secara fakta sosial akan didapati pengertian yang berbeda, mengapa pengarang menciptakan tokoh sebagaimana terkandung dalam karya sastra, sebetrapa jauh tokoh-tokoh tersebut mewakili tokoh yang ada dalam masyarakat yang sesungguhnya. Dalam hubungan inilah terjadi analisis dalam kaitannya dengan sastra dan kebudayaan, sebagai studi kultural.[2]
B.     Keterkaitan interelasi islam dengan karya sastra jawa
Maksud keterkaitan antara islam dengan karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang bersifat imperatif moral atau mewarnai. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa baru, sedangkan puisi (tembang/sekar macapat) dipakai untuk sarana memberikan berbagai petunjuk / nasihat yang secara substansial merupakan petunjuk / nasihat yang bersumber pada ajaran islam. Hal ini terjadi karena pujangga tersebut jelas beragama Islam. Kualitas keislaman para pujangga saat itu tentunya berbeda dengan kualitas saat sekarang ini. Jadi, para pembaca seharusnya menyadari bahwa pengetahuan ajaran Islam pada saat itu (abad 18-19) belum sebanyak seperti saat sekarang ini sehingga dalam menyampaikan petunjuk / nasihat para pujangga  melengkapi diri dari kekuranganya mengenai pengetahuan ke-islaman dengan mengambil hal-hal yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Juga, semua karya – karya sastra Jawa baru yang sering digunakan para pujangga keraton Surakarta (Sri Pakubuwana IV) memakai puisi (tembang / sekar macapat) dalam menyusun karya – karya sastranya. Ditambah lagi, puisi Jawa baru (tembang / sekar macapat)ini jelas – jelas bermetrum Islam. Artinya, munculnya temabang/ sekar macapat ini bebarengan dengan munculnya Islam di Jawa, yaitu setelah kejatuhan kerajaan Majapahit dan Hindu.
Dengan kata lain, Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra pujangga keratn Surakarta sehingga semua karya –karya sastranya itu berupa puisi yang berbentuk tembang/sekar Macapat.[3]
 Warna islam terlihat dalam substansinya, yaitu dari :
(1)   Unsur ketauhidan (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa)
(2)   Unsur kebajikan (upaya memberikan petunjuk / nasihat kepada siapapun, petunjuk agar berbuat kebajikan dan petunjuk untuk tidak berbuat tercela)
C.    Seni pewayangan di Indonesia
Wayang berasal dari kata wayangan yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber aslinya telah hilang di awalnya, wayang adalahbagian dari animisme.
Di jaman mataram hindu, ramayana dari india berhasil dituliskan dalam bahasa jawa kuna (kawi) pada masa raja darmawangsa, 996 – 1042 M mahabarata yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa dirakit menjadi sembilan parwa bahasa jawa kuna lalu arjuna wiwaha berhasil disusun oleh mpu kanwa di masa raja erlangga sampai di jaman kerajaan kediri dan raja jayabaya mpu sedah mulai menyusun serat bharatayuda yang lalu diselesaikan oleh mpu panuluh tak puas dengan itu saja, mpu panuluh lalu menyusun serat hariwangsa  dan kemudian serat gatutkacasraya menurut serat centhini, sang jayabaya lah yang memerintahkan menuliskan ke rontal (daun lontar, disusun seperti kerai, disatukan dengan tali) di jaman awal majapahit wayang digambar di kertas jawi dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan pakaian masa-masa awal abad sepuluh bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu yang membuat ‘naik’-nya pamor tokoh ‘dewa’ yang kini ‘ditempatkan’ berada di atas ‘hyang’ abad duabelas sampai abad limabelas adalah masa ‘sekularisasi’ wayang tahap satu dengan mulai disusunnya berbagai mithos yang mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa abad limabelas adalah dimulainya globalisasi jawa tahap dua kini pengaruh budaya islam yang mulai meresap tanpa terasa  dan pada awal abad keenambelas berdirilah kerajaan demak ( 1500 – 1550 M ) [4]
Ternyata banyak kaidah wayang berbenturan dengan ajaran islam maka raden patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakn oleh para wali secara gotong royong wayang beber karya prabangkara (jaman majapahit) segera direka-ulang dibuat dari kulit kerbau yang (di wilayah kerajaan demak masa itu, sapi tidak boleh dipotong untuk menghormati penganut hindu yang masih banyak agar tidak terjadi kerusuhan.
Gambar dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau, dan disamping sunan bonang menyususn struktur dramatika-nya sunan prawata menambahkan tokoh raksasa dan kera dan juga menambahkan beberapa skenario cerita, raden patah menambahkan tokoh gajah dan wayang prampongan sunan kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, dan gunungan sunan kudus kebagian tugas men-dalang ‘suluk’ masih tetap dipertahankam. Dan ditambah dengan greget saut dan adha-adha pada masa sultan trenggana bentuk wayang semakin dipermanis lagi mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan (tadinya hanya digambarka di kulit kerbau tipis) susuhan ratu tunggal, pengganti sultan trenggana, tidak mau kalah ia ciptakan model mata liyepan dan thelengan.
Selain wayang purwa sang ratu juga memunculkan wayang gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam keraton saja sementara untuk konsumsi rakyat jelata sunan bonang menyusun wayang damarwulan aman kerajaan pajang memberikan ciri khas baru  wayang gedhog dan wayang kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai ada lekukan pada tatahan) bentuk wayang semakin ditata.
raja dan ratu memakai mahkota/topong rambut para satria mulai ditata, memakai praba dan juga mulai ditambahkan celana dan kain di jaman ini pula lah sunan kudus memperkenalkan wayang golek dari kayu sedang sunan kalijaga menyusun wayang topeng dari kisah-kisah wayang gedog dengan demikian wayang gedog pun sudah mulai memasyarakat di luar keratin di masa mataram islam wayang semakin berkembang panembahan senapati menambahkan berbagai tokoh burung dan hewan hutan dan rambut wayang ditatah semakin halus sultan agung anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit pundak, siku, dan pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan berbentuk ‘nyempurit’ dengan adanya inovasi ini muncul pula tokoh baru: cakil, tokoh raksasa bertubuh ramping yang sangat gesit dan cekatan sultan agung anyakrakusuma, pengganti beliau, ikut menyumbang bentuk mata semakin diperbanyak dan pada beberapa tokoh dibuat beberapa wanda (bentuk) setelah semua selesai diaksanakan, diciptakan seorang tokoh baru raksasa berambut merah bertajiseperti kuku yang akhirnya disebut ‘buta prapatan’ atau ‘buta rambutgeni’ berbagai inovasi dan reka ulang wayang masih terus berlangsung dari jaman mataram islam sampai jaman sekarang[5]
Pertunjukan wayang biasanya dilakukan pada saat adanya kenduri baik kawinan maupun hajatan sunatan, Agustusan atau karena hal tertentu (bisanya ini dinamakan ruwatan). Waktunya bisa semalam suntuk atau hanya beberapa jama saja. Isi ceritanya ada yang menganut prinsip galur (diambil secara utuh berdasarkan cerita Ramayana dan Mahabrata) dan ada yang menggunakan prinsip sempalan (mengambil bagian-bagian tertentu yang biasanya menarik penonton seperti; peperangan, dan dialog humor). Pertujukan wayang yang menggunakan prinsip galur waktunya semalam suntuk sedangkan yang sempalan biasanya hanya satu sampai dua jam saja. Apalagi apabila pertunjukannya melalui media televise yang jamtayangnya sangat terbatas mungkin hanya 45 menit saja. Dalam kondisi masyarakat yang aktifitas socialnya tinggi dan menuntut waktu serba cepat, maka pertunjukan yang singkat tapi padat ceritanya dan dialog humornya menarik akan sangat diminati dibandingkan yang menggunakan jalan cerita prinsip galur – dengan lama hingga waktu subuh. Bagi masyarakat dari golongan generasi tua dan fanatic terhadapprinsip galur wayang ia akan menyenangi jalan cerita aslinya walaupun ia dengar dan lihat berulang-ulang. Tapi, bagi generasi muda yang haus hiburan serba instant, maka cerita-cerita sempalan adalah paling disukai.[6]

D.    Nilai islam terhadap budaya jawa (pewayangan)
Secara kodrati budaya Jawa seperti halnya budaya lainnya, akan selalumengalami proses perubahan atau perkembangan dalam arti yang luas. Pengembangan nilai budaya Jawa merupakan upaya secara sadar untuk terus menerus meningkatkan kualitasnya. Hasil upaya tersebut terletak pada etos masyarakat Jawa itu sendiri, yaitu aspek moral dan estetika budaya Jawa yang pada gilirannya tidak luput dari proses perubahan. Nilai hakiki yang tidak boleh beribah adalah kesadaran akan kewajiban pokok manusia untuk saling asih ing sami serta ikut memayu hayuning bawono. Selagi perubahan budaya Jawa masih mengarah pada peningkatan ke arah humanisme berarti ada perkembangan. Tapi kalau terjadi sebaliknya, justru akan terjadi kemerosotan, degradasi budaya Jawa. Semua ini semata – mata menjadi tanggungjawab masyarakat Jawa.
Berita kehilangan dalam janturan kali ilang kedunge diartikan sebagai pendangkalan makna hakikat hidup. Pasar ilang kemandange, artinya yang semula pasar sebagai tempat jual beli antara produsen dan konsumen berubah menjadi perdagangan pasar gelap barang-batang gelap. Wong wadon ilang wirange artinya tindak asusila kaum perempuan merajalela dimana-mana. Ini semua merupakan contoh gambaran kemerosotan degradasi budaya Jawa. Ungakapan mangan ora mangan waton kumpul diartikan lebih mengutamakan kumpul fisik walaupun dalam kondisi miskin. Pandangan seperti ini yternata menimbulkan dampak negatif terhadap program transmigrasi karena keengganan meninggalkan tumpah darah tempat kelahirannya. Namun, ungkapan tersebut kini sudah berubah menjadi ngumpul ora ngumpul asal mangan,  artinya makan (lapangan kerja sebagai sarana untuk mencari makan) di manapun berada lebih diutamakan daripada berkumpul secara fisik, mempertahankan hidup di daerah asal dengan kondisi miskin. Pergeseran ungkapan tersebut dapat dipahami sebagai proses perubahan nilai budaya Jawa kearah peningkatan kualitas kehidupan.
Kesatuan antara wayang dengan budaya Jawa dapat dilukiskan dengan tiga bait tembang Dhandanggula sebagai berikut.

Kadi wayang saupamaneki     (seperti wayang begitulah ibaratnya)
Urip piro aneng madyapada   (hidup anda di dunia ini)
Sayeki ono dalange                 (diatur oleh dalang)
Gusti Kang Maha Agung        (yaitu Gusti yang Maha Agung)
Kang amurbo sagung dumadi            (yang menguasai seluruh alam)
Manungsa mung sadermo       (manusia hanya sekedar menjalani)
Manut dalangipun                   (sesuai kehendak dalang)
Nanging menang mbudidaya  (tetapi berhak berusaha)
Mrih sembodo kang dadya gayuhane (memperjuangkan tercapai cita-cita)
.....................................[7]
IV.             KESIMPULAN
Kesimpulan dari pembicaraan diatas, sesuai dengan hakikatnya, sastra yang dipadukan kebudayaan jawa seperti pewayangan merupakan suatu karya seni nusantara, karaya seni berfungsi sebagai alternatif, cara – cara lain, yaitu sebgai dunia yang berbeda, agar melaluinya, pembaca, atau penikmat sastra berhasil untuk keluar dari dunia keseharian yang praktis, untuk mendapatkan nilai sosial dan religius, sekaligus menjadi model peneladanan, dan manfaatnya dalam kehidupan secara individual merupakan konsumsi rohaniah.
V.                PENUTUP
Demikian yang dapat pemakalah sampaikan, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Sehingga pemakalah mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca, demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini memberikan manfaat dan menambah pengetahuan kita. Amiin………










DAFTAR PUSTAKA
Amin, Darori. 2000. Islam & Kebudayaan Jawa, GAMA MEDIA :Yogyakarta.
Faruk, 1994. Pengantar Sosiologi Sastra.Pustaka Pelajar: Yogyakarta,
Harijawijaya, M. 2006. Islam Kejawen, Gelombang Pasang: Yogyakarta.  
Kkutha Ratna, Nyoman, 2010. Sastra dan Cultural Studies . Pustaka Pelajar :Yogyakarta.
Sujamto, 1992. Wayang dan Budaya Jawa, Dahara Prize :Semarang.



[1] Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra. (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1994) hlm 30
[2] Nyoman Kkutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies . (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010) hlm 13
[3]Darori Amin, Islam & Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: GAMA MEDIA. 2000) hlm 146
[4] M. Harijawijaya, Islam Kejawen, (Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2006) hlm 98  
[5] Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa, (Semarang: Dahara Prize, 1992) hlm 134
[7] Darori Amin, Islam & Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: GAMA MEDIA. 2000) hlm 173

Tidak ada komentar:

Posting Komentar