INTERELASI REPRESENTASI NILAI ISLAM
TERHADAP SASTRA DAN KEBUDAYAAN JAWA DI INDONESIA
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Islam Budaya Jawa
Dosen Pengampu: M Rikza Chamami, M.SI

Disusun oleh:
Nurul Inayah (103711023)
Zeaul Rizka Agustin
Salahudin Surya Amin
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
INTERELASI REPRESENTASI NILAI ISLAM
TERHADAP SASTRA DAN KEBUDAYAAN JAWA DI INDONESIA
I.
PENDAHULUAN
Seni adalah sebuah karya sastra yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan
manusia. Ini dikarenakan seni merupakan ekspresi manusia terhadap sesuatu. Ilmu
budaya dasar dinamakan basic humanities, yang berasal dari bahasa inggris yaitu
The Humanities, dan bahasa latin, Humanus yang berarti manusia, berbudaya, dan
halus. Maka dari itu apabila kita mempelajari the humanities maka kita akan
menjadi manusia yang berbudaya, dan halus. Sedangkan sastra berasal dari kata
castra berarti tulisan. Dari makna asalnya dulu, sastra meliputi segala bentuk
dan macam tulisan yang ditulis oleh manusia. Seperti catatan ilmu pengetahuan,
kitab-kitab suci, surat-surat, dan sebagainya. Sastra lebih mudah untuk
berkomunikasi, karena pada hakekatnya karya sastra merupakan penjabaran
abstraksi. Masalah sastra dan seni sangat erat hubungannya dengan ilmu budaya,
karena materi-materi yang diulas oleh ilmu budaya berkaitan dengan sastra
menjadikanya sebuah seni.
Masyarakat nusasntara kaya akan tradisi lama yang telah diwariskan oleh
nenek moyang kita. Sampai sekarang masih dapat dinikmati khazanah budaya yang
tidak ternilai harganya itu. Salah satu peninggalan nenek moyang tersebut dalam bentuk karya sastra, baik karya sastra
yang hidup dikalangan masyarakat ataupun karya sastra yang berkembang di
istana.
Sistem pemerintahan monarki masyarakat budaya jaman dulu didominasi oleh
budaya hindu, setelah berkembang muncul kerajaan – kerajaan islam Nusantara
yang menyebar di pulau jawa yang mendominasi, bahkan dengan munculnya kerajaan
islam tidak mengubah budaya indonesia yang telah terbangun berabad-abad yang
lalu. Seperti pewayangan, dalam budaya jawa, selain sastra yang menjadikan seni
jawa menjadi cultural studies, namun pewayangan juga menjadikan cultural
studies budaya sehingga menjadikannya sebuah seni. Dan didalamnya tersirat
mengenai ajaran islam.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana hakikat sastra dan kebudayaan ?
B. Bagaimana keterkaitan islam dengan karya sastra jawa?
C. Bagaimana seni pewayangan di indonesia?
D. Bagaimana nilai islam terhadap budaya jawa (pewayangan)?
III.
PEMBAHASAN
A. Hakikat sastra dan kebudayaan sebagai studi
kultural
Karya sastra disebut sebagai seni berbahasa dengan posisi yang sama dengan
bentuk kesenian lainnya. Sastra tidak hanya sebagai alat untuk menghibur,
tetapi juga sebagai bentuk pengekspresian pengarangnya dengan menggunakan seni
kebahasaan yang indah.
Sastra berasal dari bahasa Sansekerta dengan dua suku kata sas dan tra.
Sas yang berarti mngarahkan, mengajar, memberi petunjuk, sedangkan tra
yang berati alat, atau sarana.[1]
Sebagai disiplin yang berbeda, sastra dan kebudayaan memiliki objek yang
sama, yaitu manusia dalam masyarakat, manusia sebagai fakta sosial, manusia
sebagai makhluk kultural. Dikaitkan dengan fungsinya, sebagai aktivitas literer
dan aktivitas kultural, keduanya juga berfungsi untuk mengantarkan manusia
untuk mencapai jenjang kehidupan yang lebih tinggi. Perbedaannya, sesuai dengan
hakiktnya masing- masing, karya sastra melakukannya secara tak langsung,
melalui bahasa metaforis konotatif, aspek – aspek kebudayaan pada umumnya
melakukannya secara langsung, melalui bahasa baku, bahasa logis denotatif.
Pada umumnya kebudayaan menganalisis manusia secara langsung dalam
masyarakat yang bersangkutan, di tempat-tempat kejadian. Apabila ternyata bahwa
objek studi kultural merupakan teks, maka teks itupun diangap sebagai
representasi suatu kejadian tertentu. Dalam hubungan inilah teks dikatakan
sebagai gejala kedua. Sebaliknya, sastra selalu mentransformasikannya terlebih
dahulu kedalam teks, dari bahasa formal kedalam bahasa sastra, dari kejdaian
kedalam plot, objek formal karya sastra dengan demikian adalah teks itu
sendiri, sedangkan objek formal studi kultural, meskipun dalam uatu penelitian
sudah diadopsi ke dalam data, tetap kejadian-kejadian yang ada dilapangan,
sebagai studi konteks. Oleh karena itulah, sastra disebut ‘dunia dalam kata’,
bukan dunia manusia.
Aspek kebudayaan yang paling banyak memanfaatkan kata-kata, dalam hubungan
ini sebagai bahasa, adalah sastra. dengan kalimat lain, medium utama karya
sastra adalah bahasa. Dikaitkan dengan peranan sastra terhadap kebudayaan, maka
unsur yang perlu disinggung adalah peranan pengarang terhadap karya sastra yang
bersangkutan. Pengarang jelas adalah anggota masyarakat. Pengarang mengarang
atas dasar pengalamannya dalam masyarakat.
Meskipun begitu pengarang tidak pernah mengarang semata-mata atas dasar
pegalaman pribadi, namun juga dikondisikan secara sosial, sehingga sastra
dikondisikan secara sosial.
Perbedaan hakikat sastra dan kebudayaan seperti yang telah dijelaskan
diatas bukanlah kendala untuk menggabungkan kedua gejala menjadi sebuah ilmu
yang baru. Yang terpenting dalam hubungan ini adalah objek yang diteliti sama,
yaitu manusia dan masyarakat itu sendiri, diteliti melalui paradigma,
metodologi, teori dan metode yang berbeda. Proses inilah yang menimbulkan
perbedaan, sehingga memberikan pemahaman yang berbeda. Dalam ilmu sastra
misalnya, tokoh- tokh dan kejadian dipahami secara imajinatif, tokoh-tokoh
sebagai hasil rekaan pengarang. Sebaliknya, melalui pemahaman secara fakta
sosial akan didapati pengertian yang berbeda, mengapa pengarang menciptakan
tokoh sebagaimana terkandung dalam karya sastra, sebetrapa jauh tokoh-tokoh
tersebut mewakili tokoh yang ada dalam masyarakat yang sesungguhnya. Dalam
hubungan inilah terjadi analisis dalam kaitannya dengan sastra dan kebudayaan,
sebagai studi kultural.[2]
B. Keterkaitan interelasi islam dengan karya
sastra jawa
Maksud keterkaitan antara
islam dengan karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang bersifat imperatif moral
atau mewarnai. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa baru,
sedangkan puisi (tembang/sekar macapat) dipakai untuk sarana memberikan berbagai
petunjuk / nasihat yang secara substansial merupakan petunjuk / nasihat yang
bersumber pada ajaran islam. Hal ini terjadi karena pujangga tersebut jelas
beragama Islam. Kualitas keislaman para pujangga saat itu tentunya berbeda
dengan kualitas saat sekarang ini. Jadi, para pembaca seharusnya menyadari
bahwa pengetahuan ajaran Islam pada saat itu (abad 18-19) belum sebanyak
seperti saat sekarang ini sehingga dalam menyampaikan petunjuk / nasihat para
pujangga melengkapi diri dari
kekuranganya mengenai pengetahuan ke-islaman dengan mengambil hal-hal yang
dianggap baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Juga, semua karya –
karya sastra Jawa baru yang sering digunakan para pujangga keraton Surakarta
(Sri Pakubuwana IV) memakai puisi (tembang / sekar macapat) dalam menyusun
karya – karya sastranya. Ditambah lagi, puisi Jawa baru (tembang / sekar
macapat)ini jelas – jelas bermetrum Islam. Artinya, munculnya temabang/ sekar
macapat ini bebarengan dengan munculnya Islam di Jawa, yaitu setelah kejatuhan kerajaan
Majapahit dan Hindu.
Dengan kata lain, Islam
mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra pujangga keratn Surakarta sehingga
semua karya –karya sastranya itu berupa puisi yang berbentuk tembang/sekar
Macapat.[3]
Warna islam terlihat dalam substansinya, yaitu
dari :
(1) Unsur ketauhidan (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa)
(2) Unsur kebajikan (upaya memberikan petunjuk / nasihat kepada siapapun,
petunjuk agar berbuat kebajikan dan petunjuk untuk tidak berbuat tercela)
C. Seni pewayangan di Indonesia
Wayang berasal dari kata wayangan yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud
tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar karena
sumber aslinya telah hilang di awalnya, wayang adalahbagian dari animisme.
Di jaman mataram hindu, ramayana dari india berhasil dituliskan dalam
bahasa jawa kuna (kawi) pada masa raja darmawangsa, 996 – 1042 M mahabarata
yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa dirakit menjadi sembilan parwa
bahasa jawa kuna lalu arjuna wiwaha berhasil disusun oleh mpu kanwa di masa
raja erlangga sampai di jaman kerajaan kediri dan raja jayabaya mpu sedah mulai
menyusun serat bharatayuda yang lalu diselesaikan oleh mpu panuluh tak puas
dengan itu saja, mpu panuluh lalu menyusun serat hariwangsa dan kemudian
serat gatutkacasraya menurut serat centhini, sang jayabaya lah yang
memerintahkan menuliskan ke rontal (daun lontar, disusun seperti kerai,
disatukan dengan tali) di jaman awal majapahit wayang digambar di kertas jawi
dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan pakaian masa-masa awal abad sepuluh
bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa kepercayaan
animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu yang membuat ‘naik’-nya pamor
tokoh ‘dewa’ yang kini ‘ditempatkan’ berada di atas ‘hyang’ abad duabelas
sampai abad limabelas adalah masa ‘sekularisasi’ wayang tahap satu dengan mulai
disusunnya berbagai mithos yang mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung
para dewa abad limabelas adalah dimulainya globalisasi jawa tahap dua kini
pengaruh budaya islam yang mulai meresap tanpa terasa dan pada awal abad
keenambelas berdirilah kerajaan demak ( 1500 – 1550 M ) [4]
Ternyata banyak kaidah wayang berbenturan dengan ajaran islam maka raden
patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakn
oleh para wali secara gotong royong wayang beber karya prabangkara (jaman
majapahit) segera direka-ulang dibuat dari kulit kerbau yang (di wilayah
kerajaan demak masa itu, sapi tidak boleh dipotong untuk menghormati penganut
hindu yang masih banyak agar tidak terjadi kerusuhan.
Gambar dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan penguat
tanduk kerbau, dan disamping sunan bonang menyususn struktur dramatika-nya
sunan prawata menambahkan tokoh raksasa dan kera dan juga menambahkan beberapa
skenario cerita, raden patah menambahkan tokoh gajah dan wayang prampongan
sunan kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri
dari batang pisang, blencong, kotak wayang, dan gunungan sunan kudus kebagian
tugas men-dalang ‘suluk’ masih tetap dipertahankam. Dan ditambah dengan greget
saut dan adha-adha pada masa sultan trenggana bentuk wayang semakin dipermanis
lagi mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan (tadinya hanya digambarka di
kulit kerbau tipis) susuhan ratu tunggal, pengganti sultan trenggana, tidak mau
kalah ia ciptakan model mata liyepan dan thelengan.
Selain wayang purwa sang ratu juga memunculkan wayang gedhog yang hanya
digelar di lingkungan dalam keraton saja sementara untuk konsumsi rakyat jelata
sunan bonang menyusun wayang damarwulan aman kerajaan pajang memberikan ciri
khas baru wayang gedhog dan wayang kulit mulai ditatah tiga dimensi
(mulai ada lekukan pada tatahan) bentuk wayang semakin ditata.
raja dan ratu memakai mahkota/topong rambut para satria mulai ditata,
memakai praba dan juga mulai ditambahkan celana dan kain di jaman ini pula lah
sunan kudus memperkenalkan wayang golek dari kayu sedang sunan kalijaga
menyusun wayang topeng dari kisah-kisah wayang gedog dengan demikian wayang
gedog pun sudah mulai memasyarakat di luar keratin di masa mataram islam wayang
semakin berkembang panembahan senapati menambahkan berbagai tokoh burung dan
hewan hutan dan rambut wayang ditatah semakin halus sultan agung anyakrawati
menambahkan unsur gerak pada wayang kulit pundak, siku, dan pergelangan wayang
mulai diberi sendi posisi tangan berbentuk ‘nyempurit’ dengan adanya inovasi
ini muncul pula tokoh baru: cakil, tokoh raksasa bertubuh ramping yang sangat
gesit dan cekatan sultan agung anyakrakusuma, pengganti beliau, ikut menyumbang
bentuk mata semakin diperbanyak dan pada beberapa tokoh dibuat beberapa wanda
(bentuk) setelah semua selesai diaksanakan, diciptakan seorang tokoh baru
raksasa berambut merah bertajiseperti kuku yang akhirnya disebut ‘buta
prapatan’ atau ‘buta rambutgeni’ berbagai inovasi dan reka ulang wayang masih
terus berlangsung dari jaman mataram islam sampai jaman sekarang[5]
Pertunjukan wayang biasanya dilakukan pada saat adanya kenduri baik kawinan
maupun hajatan sunatan, Agustusan atau karena hal tertentu (bisanya ini
dinamakan ruwatan). Waktunya bisa semalam suntuk atau hanya
beberapa jama saja. Isi ceritanya ada yang menganut prinsip galur (diambil
secara utuh berdasarkan cerita Ramayana dan Mahabrata) dan ada yang menggunakan
prinsip sempalan (mengambil bagian-bagian tertentu yang biasanya menarik
penonton seperti; peperangan, dan dialog humor). Pertujukan wayang yang
menggunakan prinsip galur waktunya semalam suntuk sedangkan yang sempalan
biasanya hanya satu sampai dua jam saja. Apalagi apabila pertunjukannya melalui
media televise yang jamtayangnya sangat terbatas mungkin hanya 45 menit saja.
Dalam kondisi masyarakat yang aktifitas socialnya tinggi dan menuntut waktu
serba cepat, maka pertunjukan yang singkat tapi padat ceritanya dan dialog
humornya menarik akan sangat diminati dibandingkan yang menggunakan jalan
cerita prinsip galur – dengan lama hingga waktu subuh. Bagi masyarakat dari
golongan generasi tua dan fanatic terhadapprinsip galur wayang ia akan
menyenangi jalan cerita aslinya walaupun ia dengar dan lihat berulang-ulang.
Tapi, bagi generasi muda yang haus hiburan serba instant, maka cerita-cerita
sempalan adalah paling disukai.[6]
D. Nilai islam terhadap budaya jawa (pewayangan)
Secara kodrati budaya
Jawa seperti halnya budaya lainnya, akan selalumengalami proses perubahan atau
perkembangan dalam arti yang luas. Pengembangan nilai budaya Jawa merupakan
upaya secara sadar untuk terus menerus meningkatkan kualitasnya. Hasil upaya
tersebut terletak pada etos masyarakat Jawa itu sendiri, yaitu aspek moral dan
estetika budaya Jawa yang pada gilirannya tidak luput dari proses perubahan.
Nilai hakiki yang tidak boleh beribah adalah kesadaran akan kewajiban pokok
manusia untuk saling asih ing sami serta ikut memayu hayuning bawono.
Selagi perubahan budaya Jawa masih mengarah pada peningkatan ke arah humanisme
berarti ada perkembangan. Tapi kalau terjadi sebaliknya, justru akan terjadi
kemerosotan, degradasi budaya Jawa. Semua ini semata – mata menjadi
tanggungjawab masyarakat Jawa.
Berita kehilangan dalam
janturan kali ilang kedunge diartikan sebagai pendangkalan makna hakikat
hidup. Pasar ilang kemandange, artinya yang semula pasar sebagai tempat
jual beli antara produsen dan konsumen berubah menjadi perdagangan pasar gelap
barang-batang gelap. Wong wadon ilang wirange artinya tindak asusila
kaum perempuan merajalela dimana-mana. Ini semua merupakan contoh gambaran
kemerosotan degradasi budaya Jawa. Ungakapan mangan ora mangan waton kumpul
diartikan lebih mengutamakan kumpul fisik walaupun dalam kondisi miskin.
Pandangan seperti ini yternata menimbulkan dampak negatif terhadap program
transmigrasi karena keengganan meninggalkan tumpah darah tempat kelahirannya.
Namun, ungkapan tersebut kini sudah berubah menjadi ngumpul ora ngumpul asal
mangan, artinya makan (lapangan
kerja sebagai sarana untuk mencari makan) di manapun berada lebih diutamakan
daripada berkumpul secara fisik, mempertahankan hidup di daerah asal dengan
kondisi miskin. Pergeseran ungkapan tersebut dapat dipahami sebagai proses
perubahan nilai budaya Jawa kearah peningkatan kualitas kehidupan.
Kesatuan antara wayang
dengan budaya Jawa dapat dilukiskan dengan tiga bait tembang Dhandanggula
sebagai berikut.
Kadi wayang saupamaneki (seperti
wayang begitulah ibaratnya)
Urip piro aneng madyapada (hidup anda di
dunia ini)
Sayeki ono dalange (diatur oleh dalang)
Gusti Kang Maha Agung (yaitu Gusti
yang Maha Agung)
Kang amurbo sagung dumadi (yang menguasai seluruh
alam)
Manungsa mung sadermo (manusia hanya
sekedar menjalani)
Manut dalangipun (sesuai kehendak dalang)
Nanging menang mbudidaya (tetapi berhak
berusaha)
Mrih sembodo kang dadya
gayuhane (memperjuangkan tercapai cita-cita)
.....................................[7]
IV.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari pembicaraan diatas, sesuai dengan hakikatnya, sastra yang
dipadukan kebudayaan jawa seperti pewayangan merupakan suatu karya seni
nusantara, karaya seni berfungsi sebagai alternatif, cara – cara lain, yaitu
sebgai dunia yang berbeda, agar melaluinya, pembaca, atau penikmat sastra
berhasil untuk keluar dari dunia keseharian yang praktis, untuk mendapatkan
nilai sosial dan religius, sekaligus menjadi model peneladanan, dan manfaatnya
dalam kehidupan secara individual merupakan konsumsi rohaniah.
V.
PENUTUP
Demikian yang
dapat pemakalah sampaikan, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna. Sehingga pemakalah mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun
dari para pembaca, demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini memberikan
manfaat dan menambah pengetahuan kita. Amiin………
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Darori. 2000. Islam & Kebudayaan Jawa, GAMA MEDIA :Yogyakarta.
Faruk, 1994. Pengantar Sosiologi Sastra.Pustaka Pelajar: Yogyakarta,
Harijawijaya, M. 2006. Islam Kejawen, Gelombang Pasang: Yogyakarta.
Kkutha Ratna, Nyoman, 2010. Sastra dan Cultural Studies . Pustaka
Pelajar :Yogyakarta.
Sujamto, 1992. Wayang dan Budaya Jawa, Dahara Prize :Semarang.
Aris fourtofour, http://www.kumpulansejarah.com/2012/11/sejarah-seni-pewayangan-di-indonesia.html akses 01 Oktober 2013
[3]Darori Amin, Islam & Kebudayaan Jawa,
(Yogyakarta: GAMA MEDIA. 2000) hlm 146
[6] Aris fourtofour, http://www.kumpulansejarah.com/2012/11/sejarah-seni-pewayangan-di-indonesia.html akses 01 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar